Ketahanan pangan merupakan salah satu isu penting yang menjadi perhatian dunia, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sebagai salah satu produsen dan pengolah pangan terbesar di Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk turut berperan aktif dalam menghadapi tantangan dan peluang di bidang ini.
Pada tanggal 19 Januari 2024, Direktur Indofood, Axton Salim, menjadi salah satu pembicara dalam diskusi panel First Movers Coalition for Food (FMC4Food) yang diadakan dalam rangka World Economic Forum (WEF) ke-54 di Davos, Swiss. Diskusi ini mengangkat tema “Rebuilding Trust” dan membahas tentang strategi dan inovasi untuk menciptakan sistem pangan yang lebih berkelanjutan, sehat, dan inklusif.
Axton Salim menyampaikan bahwa ketahanan pangan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan lahan, perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan ketimpangan akses. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya berinovasi dalam memproduksi pangan tanpa membebani biaya pada konsumen.
“Keterjangkauan adalah kuncinya. Sehingga penting sekali untuk terus berinovasi dalam memproduksi pangan tanpa membebani biaya pada konsumen,” ujar Axton Salim dalam keterangan tertulis yang dikutip dari detikFinance.
Selain itu, ia juga memaparkan beberapa inisiatif dan inovasi yang telah dilakukan oleh Indofood, yang beroperasi di seluruh tahapan proses produksi makanan, mulai dari produksi dan pengolahan bahan baku hingga menjadi produk akhir di pasar. Ia mengatakan bahwa Indofood telah mengimplementasikan inisiatif low-carbon pada seluruh value chain, dari hulu ke hilir.
“Di hulu, grup agribisnis Indofood telah menerapkan praktik agrikultur yang berkelanjutan guna mendukung target pemerintah Indonesia untuk mencapai Net Sink dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan di tahun 2030. Target itu dilakukan melalui zero deforestation and degradation of HCV, zero new planting pada lahan gambut, zero burning untuk pembukaan lahan dan penanaman kembali, serta melestarikan sekitar 25.000 ha area kawasan bernilai konservasi tinggi. Bahkan, 84% pupuk yang kami gunakan adalah pupuk organik,” ujarnya.
“Di tingkat agribisnis yang lebih kecil, kesejahteraan petani harus diutamakan. Seperti yang telah kami lakukan dengan petani kentang di Indonesia. Yang kami lakukan adalah dengan menyediakan bibit yang baik, mengedukasi para petani untuk mengimplementasikan praktik pertanian yang baik dengan begitu produktivitasnya meningkat, meminimalkan penggunaan pupuk, dan saya rasa ini dapat meningkatkan ekonomi petani,” tambahnya.
“Di hilir, kami juga melihat aspek manufaktur, diantaranya energi yang kami gunakan sebesar 70% adalah energi terbarukan yang berasal dari biomass dan solar PV,” lanjutnya.
Axton Salim berharap bahwa diskusi ini dapat menjadi ajang berbagi pengalaman dan belajar dari para pelaku industri pangan lainnya, serta mendorong kerjasama antara sektor publik dan swasta untuk menciptakan sistem pangan yang lebih baik.
“Kami percaya bahwa dengan berkolaborasi, kita dapat mencapai tujuan bersama untuk menciptakan sistem pangan yang lebih berkelanjutan, sehat, dan inklusif, yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama bagi masyarakat Indonesia,” tutupnya.