BUDAYA NYADHAR

Alvin Karunia By Alvin Karunia
5 Min Read

jlk – Nyadar atau disebut juga “nyader” oleh penduduk setempat merupakan suatu upacara yang dilaksanakan oleh warga Sumenep, khususnya di Desa Karang Anyar, Pinggir Papas dan sekitarnya yang dilaksanakan di sekitaran pemakaman atau biasa disebut asta yang terletak di desa Kebundadap Timur Kec. Saronggi.

Nyader merupakan kebudayaan atau upacara adat yang dilestarikan oleh masyarakat di desa Pinggir Papas, Karang anyar dan sekitarnya sebagai bentuk rasa syukur mereka atas hasil alam mereka yaitu sebagai petani garam. Hal ini tidak lepas dari sejarah yang berkembang di masyarakat bahwasanya leluhur mereka yang bernama Angga Suto merupakan seorang yang ahli dalam mengotak atik air laut menjadi garam. Hal ini tentu didukung oleh letak geografis desa Pinggir papas dan Karang anyar yang terletak di pinggir pantai.

Di ceritakan bahwa dahulu Angga Suto berjalan di pinggir pantai, tanpa sengaja tapak kaki beliau terkena ombak dari air laut. Dan anehnya bekas telapak kaki dari angga suto ini menjadi garam. Dari cerita tersebutlah menjadi cikal bakal peringatan tahunan nyader yang sampai saat ini terus dilestarikan oleh penduduk sekitar.

Kebudayaan nyader dilakukan setiap tahunnya sebanyak 3x dalam 1 tahun, yaitu nyader pertama dan kedua yang dilakukan di area pemakaman Angga Suto dan nyader ke tiga atau yang terakhir atau biasa disebut denga “nyader panotop” yang dilakukan di rumah masing masing warga yang mempunyai kewajiban dalam menjalankan tradisi tersebut. Yang dimaksud warga yang memiliki kewajiban yaitu setiap warga yang memiliki piring warisan atau biasa disebut “Panjhang”. Meskipun begitu banyak warga yang meskipun tidak memiliki panjhang tetap ikut melestarikan.

- Advertisement -

Kebudayaan ini dilakukan di setiap tahunnya biasanya di mulai dari hari jum’at sore hingga ke hari sabtu pagi. Namun periode waktunya hanya dapat ditentukan oleh ketua adat atau yang disebut “banga seppo”, biasanya banga seppo inilah yang menentukan waktu pelaksanaannya dan nantinya mengadakan acara musyawarah atau disebut ”parembughan” yang biasnya diadakan dua minggu sebelum hari H. Dalam acara parembughan ini biasanya banga seppo menyampaikan bahwa pelaksanaan nyadar sudah ditentukan. Biasanya 1 minggu sebelum pelaksanaan nyader diadakan acara bersih bersih di areal kompleks pemakaman Angga Suto atau biasa disebut “ngangorap/babersen”.

Ketika hari H tepatnya hari jum’at para warga yang memiliki kewajiban atau memiliki panjhang sudah mempersiapkan sejak pagi segala keperluan atau peralatan yang nantinya akan digunakan pada sore hari yang kemudian dibawa ke rumah rumah warga disekitaran pemakaman yang disediakan mereka untuk ditempati para warga yang mempunyai panjhang sebagai andil warga desa Kebundadap Timur dalam melestarikan kebudayaan nyader.

Kemudian pada hari jum’at sore di pemakaman Angga Suto yang dihadiri oleh ketua adat atau banga seppo yang diikuti oleh banyak warga untuk memulai serangkaian acara nyader. Biasanya pada saat jum’at sore para warga di ijinkan untuk masuk langsung ke pemakaman Angga Suto untuk berziarah. Namun sebelum diijinkan memasuki pemakaman oleh banga seppo dibacakan do’a terlebih dahulu dari luar yang kemudian diikuti oleh masuknya bunga atau disebut “Sekkar”. Setelah itu semua warga diijinkan masuk untuk berziarah. Ada yang unik ketika akan memasuki pemakaman para warga berdesakan untuk memperebutkan posisi pertama untuk memasuki pemakaman yang dipercaya dapat menambah keberkahan. Kemudian acara ziarah ini berlangsung sampai esok pagi.

Kemudian pada esok harinya tepatnya hari sabtu diadakan do’a bersama di halaman luar areal pemakaman, di hari ini piring warisan yang disebut panjhang diisi dengan nasi yang telah mereka siapkan sejak malam hari. Semua pemilik panjhan berkumpul dan berdo’a bersama, kemudian acara ini ditutup dengan memakan nasi yang mereka bawa masing masing, sebagai wujud rasa syukur para warga yang memiliki kewajiban dan bentuk penghormatan kepada nenek moyang mereka yang telah memberikan ilmu pengetahuan tentang tata cara mengolah air laut menjadi garam.

Serangkaian acara tersebut diatas dilakukan ketika nyader pertama dan kedua, namun acara nyader yang ketiga hanya cukup menyediakan nasi pada piring warisan atau panjhang dan dilakukan pembacaan do’a di masing- masing pemiliknya.

- Advertisement -

Penulis: Bangbang Sutrisno (Ilmu Komunikasi)

Share This Article