Desa Bullaan Punya Jalan Unik Bernama Jalan Rusak, Mari Kita Catat Untuk Bukti di Akhirat!

Oleh
Baca 6 Mnt
Desa Bullaan Punya Jalan Unik Bernama Jalan Rusak, Mari Kita Catat Untuk Bukti di Akhirat! (Ilustrasi)
Desa Bullaan Punya Jalan Unik Bernama Jalan Rusak, Mari Kita Catat Untuk Bukti di Akhirat! (Ilustrasi)

Di Desa Bullaan, Kecamatan Batuputih, ada sebuah jalan yang seperti yang sudah-sudah bisa sebagai salah satu “Jalan Multifungsi”—bukan karena mulusnya, melainkan karena kemampuannya berubah menjadi kolam renang dadakan saat hujan dan arena uji nyali kendaraan saat kemarau.

Warga Dusun Banno dan Bajur mungkin sedang tidak sadar bahwa mereka memiliki “jalan multi-fungsi” yang lebih fleksibel daripada jas hujan pedagang bakso: bisa jadi jalur arus deras, tempat latihan manuver motor ala pembalap MotoGP ofroad , sekaligus medan pengujian ketahanan mental sebelum menikah.

Semua itu, tentu saja, berkat sentuhan magis dana desa Rp1,4 miliar yang entah menguap ke mana—mungkin menjelma asap knalpot truk yang setiap hari mengeluh lewat jalan itu.

“Sampai hari ini jalan yang rusak itu belum diperbaiki mas hampir kurang lebih 10 tahun,” ujar seorang warga, yang suaranya mungkin tenggelam oleh deru mesin pengaspalan imajiner. Sepuluh tahun—itu artinya jalan ini sudah “lebih setia” daripada mantan pacar yang masih nongol di medsos.

Bayangkan: seorang anak yang dulu SD kini mungkin sudah kuliah, tapi jalan ke sekolahnya masih saja berlubang, seolah-olah setiap tahun kepala desa menambahkan satu lubang baru sebagai kado ulang tahun jabatannya. 

“Ini bukan hanya sekadar infrastruktur, tapi ini adalah bentuk bukti nyata ketidakpedulian pemerintah desa terhadap rakyatnya,” tambah warga itu, sambil mungkin memandang langit, berharap dana desa yang “terbang” itu suatu hari akan turun sebagai hujan aspal.

Padahal, dengan dana Rp1,4 miliar, Desa Bullaan bisa saja membangun jalan sehalus kulit “Noni Belanda” yang dijual di pasar Batuputih. Tapi apa daya, uang sebanyak itu—cukup untuk beli 14.000 karung beras atau 2.800 ekor kambing—ternyata hanya sanggup melahirkan jalan berlubang yang dalamnya bisa menampung ikan lele.

Warga curiga, jangan-jangan ini proyek “budidaya lele darat” terselubung. “Kalau musim hujan, lubangnya jadi kolam. Tinggal tebar bibit, jadi usaha sampingan!” canda seorang pemuda sambil menghindari genangan yang nyaris menenggelamkan sepatunya.

Kepala Desa Bullaan, sang aktor utama di balik drama jalan rusak ini, sepertinya sedang menjalankan misi rahasia: “Menjaga Keaslian Desa” dengan cara menolak modernisasi aspal. Selama tiga periode, beliau konsisten seperti pedagang sate yang tak mau ganti resep—meski pelanggannya mengeluh dagingnya alot.

- Advertisement -

Kantor desa yang jalannya mulus mungkin sengaja dibiarkan sebagai “museum perbandingan”, supaya warga paham bahwa aspal itu ada, tapi hanya untuk yang berkuasa. “Kalau mau lihat aspal, datang ke kantor pak kades.

Di situ ada sisa-sisanya,” sindir seorang ibu sambil menggendong anak, melompati kubangan seperti main engklek versi kehidupan nyata. Dana desa yang disebut “terbanyak se-Kecamatan” itu seolah jadi teka-teki silang tanpa jawaban.

Yang jelas, dampaknya sudah seperti sinetron sabtu pagi: “Dampak dari jalan yang rusak itu sangat membahayakan rakyat atau umumnya para pengguna jalan dan Citra Desa Bullaan terhadap warga luar.” 

- Advertisement -

Tapi siapa peduli citra? Justru dengan jalan rusak, Desa Bullaan bisa jadi “filter alami” bagi tamu tak diundang. “Mau jenguk keluarga di sini? Siapkan mental. Kalau mobilnya nyemplung lubang, anggap saja itu ujian keikhlasan,” kata seorang sopir angkot yang sudah hapal setiap jebakan di jalan itu.

Ironisnya, di tengah keluhan warga, pemerintah desa mungkin sedang sibuk menyusun proposal dana tahun depan dengan judul “Peningkatan Jalan Multifungsi Berbasis Kearifan Lokal”—istilah keren untuk lubang yang dibiarkan tetap ada. 

“Anggaran Dana Desanya sangat besar mas untuk tahun ini, sangat butuh pengawasan serius agar realisasinya sesuai harapan masyarakat dan jauh dari penyimpangan,” protes warga yang lelah jadi penonton.

Tapi pengawasan seperti apa yang diharapkan? Dinas PUPR setempat mungkin mengira jalan itu “karya seni instalasi”, sementara aparat desa sibuk menghitung beras bantuan yang entah sampai ke tangan siapa.

Sepuluh tahun berlalu, anak-anak yang dulu terjatuh dari sepeda karena lubang itu kini sudah jadi bapak-bapak. Tapi jalanan tetap sama—bahkan mungkin lebih dalam, seolah ingin menyaingi sumur-sumur tua di belakang rumah warga. 

“Kalau dana desa itu dikumpulin, bisa buat bangun jalan ke bulan. Tapi di sini, ke sekolah saja susahnya kayak naik haji,” keluh seorang bapak paruh baya, sambil menuntun motornya yang ban depannya nyangkut di lubang berbentuk peta Indonesia.

Di ujung cerita, warga hanya bisa berharap agar suatu hari nanti, dana desa yang “hilang” itu akan kembali seperti pepatah Jawa: “Jancuk! kapan dalane didandani?.” Tapi kapan? Entahlah. Yang pasti, selama jalan ini masih berlubang, Desa Bullaan tetap akan dikenang sebagai “kampung dengan jutaan cerita di setiap kubangan”—tempat di mana setiap genangan air adalah cermin yang memantulkan ironi kebijakan, dan setiap lubang adalah monumen untuk janji yang terpendam.

Sampai jumpa di kubangan selanjutnya. Mari Kita Catat Untuk Bukti di Akhirat!

Share This Article