jlk – Isu hangat seputar pemakzulan presiden mencuat di tengah gejolak politik jelang Pemilu 2024.
Para pemain utama, seperti tokoh-tokoh dan kelompok tertentu, melemparkan kartu-kartu as mereka untuk mengusulkan pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Alasan-alasan terdengar aneh, dari dugaan kecurangan pemilu hingga krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Namun, apakah skenario pemakzulan ini hanya rekayasa atau benar-benar mungkin terjadi? Kita akan menggali lebih dalam mengenai permainan kata-kata ini.
Apa syarat, mekanisme, dan bagaimana peta tantangannya?
Di sisi lain, ada juga kartu as bernama “dekrit presiden,” instruksi langsung dari sang pemain utama yang tak butuh persetujuan dari pemain lainnya. Sebuah perbandingan yang unik dan menarik!
Drama Pemakzulan Presiden
Adegan pertama, pemakzulan presiden! Ini adalah pertunjukan di mana pemain utama harus melibatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Skripnya?
Diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 7A dan 7B, menampilkan aksi pemakzulan dengan alasan-alasan epik seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, dan tindak pidana berat lainnya.
Namun, plotnya tidak semudah itu. Sebelum memainkan kartu pemakzulan, pemain utama harus meminta izin ke pengadilan, Mahkamah Konstitusi (MK).
MK memeriksa, mengadili, dan memberi izin untuk melanjutkan pemakzulan. Ini seperti memasak mie instan, harus melewati beberapa tahap sebelum akhirnya bisa dinikmati!
Putusan akhir diambil oleh MPR dalam sidang besar. Namun, apa daya, persyaratan untuk menjatuhkan pemain utama dari kursi presiden cukup tinggi.
Setidaknya tiga perempat anggota MPR harus setuju. Drama politik dengan bumbu kepentingan nasional yang kental!
Drama Dekrit Presiden
Sementara itu, di luar gedung MPR dan DPR, sang pemain utama memiliki kartu andalannya yang disebut “dekrit presiden.”
Ini adalah instruksi langsung, seperti pesan rahasia dari pemain utama kepada seluruh negeri, tanpa perlu persetujuan dari pemain lainnya, termasuk DPR, MPR, atau bahkan Mahkamah Konstitusi.
Meski tidak tercantum secara eksplisit di UUD 1945, kartu ini memiliki basis hukum terselubung di beberapa pasal.
Misalnya, dalam keadaan bahaya, pemain utama bisa menetapkan keadaan perang atau mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Seolah-olah mengatakan, “Situasi genting, saya yang paling tahu!”
Sejarah mencatat dekrit presiden 5 Juli 1959, di mana sang pemain utama saat itu, Presiden Soekarno, membuat langkah dramatis.
Dia memerintahkan pengembalian UUD 1945 sebagai dasar negara, membubarkan Konstituante, dan membentuk lembaga legislatif baru.
Sebuah aksi besar yang dianggap sebagai solusi untuk kebuntuan politik dan konstitusional, tapi menuai kritik tajam.
Duel Pemakzulan dan Dekrit
Melalui tarian kata-kata di atas, kita menyaksikan duel antara pemakzulan presiden dan dekrit presiden. Perbedaan kentara dari segi pengertian, syarat, dan mekanisme.
Pemakzulan adalah panggung besar yang membutuhkan persetujuan dari banyak pihak, sedangkan dekrit presiden adalah pertunjukan eksklusif yang diperankan langsung oleh pemain utama.
Namun, keduanya bukanlah alat mainan biasa. Mereka harus dijalankan dengan kebijaksanaan, menghormati hak dan kewajiban rakyat, serta menjaga demokrasi.
Drama politik ini bukan hanya sekadar hiburan, tapi juga cerminan dari dinamika kekuasaan dan tanggung jawab pemimpin.
Semoga, pertunjukan ini menjadi pelajaran berharga dalam memainkan peran penting dalam panggung politik Indonesia.