Dalam lanskap sosial dan religius Indonesia, dua kasus yang melibatkan Hamdan Muhammad dan Muhammad Erik mengguncang nilai-nilai moral yang selama ini dijunjung tinggi.
Hamdan Muhammad, suami selebgram Aida Selvia, dan Muhammad Erik, seorang pengasuh pondok pesantren di Lumajang, Jawa Timur, telah terlibat dalam skandal yang mencoreng nama baik mereka.
Untuk memahami lebih dalam, kita akan melihat melalui lensa falsafah “antara zakar dan zikir,” yang mengajak kita merenungkan keseimbangan antara kebutuhan biologis dan spiritual.
Nama Hamdan Muhammad dan Muhammad Erik menyiratkan kebesaran dan kesalehan. “Hamdan” berarti “yang banyak dipuji” atau “yang memuji,” sementara “Muhammad” berarti “yang terpuji.” Nama-nama ini seharusnya mencerminkan individu yang terhormat dan bermoral tinggi.
Namun, realitas menunjukkan sebaliknya. Perspektif “antara zakar dan zikir” menyoroti bagaimana perbedaan kecil, seperti harakat dalam bahasa Arab, bisa berarti besar dalam menentukan arah hidup seseorang.
Zakar (زَكَر) merujuk pada organ reproduksi pria dan melambangkan hasrat biologis. Sementara itu, zikir (ذِكْر) berarti mengingat Allah dan melambangkan aspek spiritual seseorang. Perbedaan harakat ini, meskipun kecil, memiliki implikasi besar dalam hidup manusia.
Harakat menggambarkan bagaimana kebutuhan biologis dan spiritual harus seimbang. Ketika salah satunya mendominasi, seperti yang terjadi pada Hamdan Muhammad dan Muhammad Erik, akibatnya bisa merusak nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi.
Kasus Hamdan Muhammad
Hamdan Muhammad, suami selebgram Aida Selvia, terlibat dalam skandal perselingkuhan yang sangat memalukan.
Tindakan Hamdan mencakup penggunaan aplikasi untuk open BO (booking online) dan menghabiskan waktu di klub malam bersama selingkuhannya, sementara istrinya, Aida, sedang hamil besar. Tindakan ini menggambarkan dominasi aspek zakar tanpa kontrol dari aspek zikir.
Aida mengungkapkan bahwa Hamdan sering berdalih menggunakan ponsel lama yang ia klaim diberikan kepada ibunya sebagai kedok untuk menyembunyikan aktivitas perselingkuhannya.
Bukti-bukti berupa foto-foto dan pesan-pesan yang ditemukan di ponsel tersebut mengungkap perilaku bejat Hamdan.
Kasus Muhammad Erik
Muhammad Erik, seorang pengasuh pondok pesantren di Lumajang, Jawa Timur, diduga menikahi gadis di bawah umur tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Sebagai seorang yang seharusnya menjadi panutan dalam hal zikir, tindakan Erik lebih dikuasai oleh zakar. Kasus ini mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakseimbangan antara kebutuhan biologis dan spiritual.
Erik seharusnya menunjukkan contoh kesalehan dan moral yang tinggi kepada santri-santrinya. Namun, ia malah terlibat dalam skandal yang merusak citra pesantren dan kepercayaan masyarakat.
Mungkin Erik berpikir bahwa menjadi pengasuh pesantren memberikan hak istimewa untuk mengabaikan hukum dan moral, asalkan tetap berdoa sebelum ‘tidur’.
Beda Harakat Saja
Harakat atau tanda baca dalam bahasa Arab menentukan makna kata. Dalam kasus zakar dan zikir, perbedaan harakat ini menggambarkan dua jalur kehidupan yang bisa diambil oleh seseorang.
Zakar (زَكَر) dengan harakat fatḥah menunjukkan aspek biologis dan hasrat seksual, sedangkan zikir (ذِكْر) dengan harakat kasrah menunjukkan aspek spiritual dan kesadaran religius.
Ketika seseorang gagal menjaga keseimbangan antara kedua aspek ini, seperti yang terjadi pada Hamdan Muhammad dan Muhammad Erik, dampaknya adalah kerusakan moral dan sosial.
Harakat dalam konteks ini bisa dilihat sebagai simbol keseimbangan yang rapuh antara kebutuhan duniawi dan spiritual. Harakat zakar yang dominan tanpa kontrol dari zikir menghasilkan perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Di sisi lain, harakat zikir yang dominan tanpa mempertimbangkan kebutuhan biologis juga bisa menyebabkan ketidakseimbangan dan frustrasi.
Oleh karena itu, keseimbangan antara zakar dan zikir adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang bermakna dan terhormat.
Keseimbangan Zakar dan Zikir, Kenapa Penting?
Kasus Hamdan Muhammad dan Muhammad Erik mencerminkan masalah yang lebih luas dalam masyarakat kita. Banyak individu yang gagal menyeimbangkan antara kebutuhan biologis dan spiritual, yang sering kali menyebabkan perilaku yang tidak bermoral.
Dalam budaya kita, zakar sering kali dianggap sebagai simbol kekuatan dan maskulinitas, sementara zikir dianggap sebagai simbol kesalehan dan kedekatan dengan Tuhan. Keduanya penting, namun harus seimbang.
Peran media sosial juga tidak bisa diabaikan. Media sosial sering kali memperkuat perilaku zakar dengan mengglorifikasi gaya hidup hedonis dan materialistis.
Di sisi lain, aspek zikir sering kali terpinggirkan atau dianggap kuno. Ini menciptakan ketidakseimbangan dalam masyarakat, yang pada gilirannya menghasilkan perilaku seperti yang ditunjukkan oleh Hamdan Muhammad dan Muhammad Erik.
Mungkin jika kita semua menghabiskan lebih banyak waktu untuk zikir dan lebih sedikit waktu untuk scrolling Instagram, dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik.
Harakat dan Pelajaran Hidup
Kasus-kasus ini mengajarkan kita pentingnya menjaga keseimbangan antara zakar dan zikir. Harakat dalam bahasa Arab, yang hanya perbedaan kecil namun bermakna besar, mengingatkan kita bahwa tindakan kecil dalam hidup kita bisa memiliki dampak besar.
Kita harus selalu berusaha untuk menjaga keseimbangan ini dalam segala aspek kehidupan kita.
Peran keluarga, pendidikan, dan komunitas sangat penting dalam membentuk keseimbangan ini. Anak-anak harus diajarkan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan biologis dan spiritual sejak dini.
Sekolah dan pesantren harus mengajarkan nilai-nilai moral dan spiritual yang kuat, sambil juga mengakui dan mengelola kebutuhan biologis yang alami. Masyarakat harus mendukung individu dalam menjaga keseimbangan ini, melalui dukungan sosial dan agama.
Kasus Hamdan Muhammad dan Muhammad Erik mengajarkan kita bahwa, zakar seorang lelaki kelihatannya shalih dan nama yang mulia tidak menjamin perilaku yang mulia jika tidak diiringi dengan usaha menjaga keseimbangan antara kebutuhan biologis dan spiritual.
Perspektif ini mengingatkan kita bahwa kehidupan yang seimbang antara kebutuhan duniawi dan spiritual adalah kunci untuk menjalani hidup yang bermakna dan terhormat.
Dalam masyarakat yang semakin materialistis, penting bagi kita untuk selalu mengingat pentingnya zikir. Namun, kita juga harus mengakui dan mengelola kebutuhan zakar kita dengan cara yang bermoral dan sesuai dengan nilai-nilai agama.