jlk- Suatu hari, Anda menerima pesan dari teman Anda yang mengirimkan sebuah foto yang mengejutkan. Foto itu menampilkan suami Anda yang sedang berpelukan dengan seorang wanita yang bukan Anda. Anda merasa marah, bingung, dan sakit hati.
Apakah suami Anda benar-benar berselingkuh? Siapa wanita itu? Dan siapa yang mengambil dan menyebarkan foto itu?
Sebelum Anda mengambil tindakan apapun, ada baiknya Anda mengecek kebenaran foto tersebut. Bisa jadi, foto itu adalah hasil editan yang dibuat oleh seseorang yang berniat jahat.
Dengan kemajuan teknologi, saat ini sangat mudah untuk mengedit foto dan membuatnya tampak nyata. Ada banyak aplikasi dan software yang bisa digunakan untuk mengubah wajah, tubuh, latar belakang, atau bahkan menambahkan objek pada foto.
Namun, apakah mengedit dan menyebarkan foto orang lain tanpa izin itu sah-sah saja? Apakah ada hukum yang mengaturnya? Dan apa dampaknya bagi korban dan pelaku?
UU ITE 2024: Perlindungan atau Pembatasan?
Salah satu hukum yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah mengalami dua kali perubahan, yaitu pada tahun 2016 dan 2024.
UU ITE 2024 bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pengguna dan penyelenggara sistem elektronik, serta mencegah dan menindak pelanggaran hukum yang terjadi di dunia maya.
UU ITE 2024 mengatur berbagai aspek, seperti hak dan kewajiban pengguna dan penyelenggara sistem elektronik, jenis dan sanksi pidana, serta mekanisme penyelesaian sengketa.
Salah satu pasal yang sering menjadi sorotan adalah Pasal 27A yang berbunyi:
“Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”
Pasal ini mengandung unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang merujuk pada Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama yang saat ini masih berlaku, serta Pasal 433 dan 434 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku pada tahun 2026.
Menurut Penjelasan Pasal 27A UU ITE 2024, yang dimaksud dengan perbuatan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.
Sanksi pidana bagi pelaku yang melanggar Pasal 27A UU ITE 2024 adalah penjara maksimal 2 tahun, dan/atau denda maksimal Rp400 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (4) UU ITE 2024.
Pasal 27A UU ITE 2024 merupakan pasal aduan, yang artinya hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari korban atau orang yang terkena dampaknya, dan bukan oleh badan hukum.
Selain itu, perbuatan dalam Pasal 27A UU ITE 2024 tidak dapat dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau jika dilakukan karena terpaksa membela diri.
Pasal 27A UU ITE 2024 sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi kehormatan dan nama baik orang lain dari serangan yang tidak beralasan dan tidak bertanggung jawab di media sosial.
Namun, dalam praktiknya, pasal ini sering disalahgunakan untuk menjerat orang-orang yang menyampaikan kritik, pendapat, atau informasi yang tidak disukai oleh pihak tertentu.
Banyak kasus yang menimpa aktivis, jurnalis, akademisi, seniman, atau warga biasa yang dijerat dengan Pasal 27A UU ITE 2024 karena dianggap menghina atau mencemarkan nama baik pejabat, tokoh, atau lembaga tertentu.
Padahal, mereka hanya melakukan hak asasi mereka untuk berpendapat dan berkomunikasi secara bebas dan bertanggung jawab.
Beberapa contoh kasus yang menimbulkan kontroversi adalah:
- Kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer di Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE 2016 (sebelum diubah) karena merekam dan menyebarkan percakapan mesum dengan Kepala Sekolahnya yang melakukan pelecehan seksual terhadapnya.
Baiq Nuril divonis bersalah dan dihukum penjara 6 bulan serta denda Rp500 juta oleh Mahkamah Agung. Namun, setelah mendapat tekanan publik, Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Baiq Nuril pada Juli 2019. - Kasus Diananta Putra Sumedi, seorang jurnalis Tempo.co, yang dijerat dengan Pasal 27A UU ITE 2024 karena menulis berita tentang dugaan korupsi di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Diananta dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp50 juta. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskannya dari segala tuntutan pada Desember 2020. - Kasus Ravio Patra, seorang peneliti dan aktivis, yang dijerat dengan Pasal 27A UU ITE 2024 karena diduga menyebarkan pesan berisi ajakan untuk melakukan kerusuhan pada saat pandemi Covid-19.
Ravio mengaku bahwa ponselnya diretas oleh orang tak dikenal yang mengirimkan pesan tersebut tanpa sepengetahuannya. Ravio ditangkap dan ditahan oleh polisi pada April 2020, namun kemudian dibebaskan setelah mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa Pasal 27A UU ITE 2024 dapat membahayakan kebebasan berpendapat dan berkomunikasi di media sosial, serta mengancam demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Banyak pihak yang meminta agar pasal ini direvisi atau dicabut agar tidak menimbulkan penafsiran yang multi tafsir dan penyalahgunaan yang sewenang-wenang.
Hak Cipta: Siapa yang Berhak?
Selain UU ITE 2024, aspek hukum lain yang perlu diperhatikan dalam kasus mengedit dan menyebarkan foto orang lain adalah undang-undang yang menyangkut hak cipta. Foto seseorang adalah karya fotografi dengan objek manusia yang disebut sebagai potret, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Selain itu, menurut Pasal 40 ayat (1) huruf l Undang-Undang Hak Cipta, potret termasuk dalam salah satu ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta.
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta terdiri dari hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta yang bersifat tetap dan tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari ciptaannya.
Salah satu hak moral yang dimiliki oleh pencipta adalah hak untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan modifikasi karyanya yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasinya. Jadi, jika seseorang mengedit foto Anda dan menyebarkannya tanpa izin Anda, maka orang tersebut telah melanggar hak cipta Anda.
Selain itu, jika foto editan tersebut menampilkan Anda dalam situasi yang tidak pantas atau memalukan, maka orang tersebut juga dapat dijerat dengan Pasal 27A UU ITE 2024 karena telah menyerang kehormatan atau nama baik Anda.
Namun, penegakan hukum di dunia maya tidaklah mudah. Pelaku sering kali sulit ditangkap karena menggunakan identitas palsu atau teknologi yang memungkinkan mereka untuk menyembunyikan jejak mereka. Selain itu, proses hukum sering kali memakan waktu lama dan membutuhkan bukti yang kuat.
Etika di Dunia Maya: Tanggung Jawab Bersama
Selain hukum, etika juga berperan penting dalam berinteraksi di dunia maya. Setiap orang harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan di internet, termasuk saat mereka mengedit dan menyebarkan foto orang lain.
Sebelum Anda mengedit dan menyebarkan foto orang lain, ada baiknya Anda mempertimbangkan dampaknya bagi orang tersebut. Apakah foto tersebut akan merugikan orang tersebut?
Apakah Anda sudah mendapatkan izin dari orang tersebut? Apakah Anda siap menerima konsekuensi hukum jika Anda melanggar hak cipta atau UU ITE?
Jika Anda menjadi korban foto editan yang merugikan, ada beberapa langkah yang bisa Anda lakukan:
- Laporkan ke pihak berwajib: Anda bisa melaporkan kasus tersebut ke polisi atau ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jika foto tersebut disebarkan melalui media massa.
Anda juga bisa melaporkan ke pihak penyelenggara sistem elektronik, seperti Facebook, Instagram, atau Twitter, jika foto tersebut disebarkan melalui media sosial. - Konsultasikan dengan ahli hukum: Anda bisa berkonsultasi dengan pengacara atau LSM yang bergerak di bidang hak asasi manusia dan teknologi informasi untuk mendapatkan saran hukum.
- Edukasi masyarakat: Anda bisa berbagi pengalaman Anda dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya etika dan hukum di dunia maya.
Mengedit dan menyebarkan foto orang lain tanpa izin bukanlah hal yang sepele. Selain melanggar etika, perbuatan tersebut juga dapat melanggar hukum, seperti hak cipta dan UU ITE 2024.
Oleh karena itu, mari kita gunakan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab. Jangan sampai kemajuan teknologi justru merugikan orang lain dan merusak tatanan sosial.