Penyandang disabilitas adalah bagian dari masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Salah satu hak yang paling mendasar adalah hak politik, yaitu hak untuk memilih dan dipilih dalam kehidupan berdemokrasi. Namun, apakah hak politik penyandang disabilitas sudah terjamin dan terlaksana dengan baik di Indonesia? Bagaimana tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam mengakses dan berpartisipasi dalam proses politik? Artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang isu-isu tersebut, dengan mengambil perspektif hukum, sosial, dan praktis.
Hak Politik Penyandang Disabilitas dalam Kerangka Hukum
Hak politik penyandang disabilitas diakui dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional dan nasional. Pada tingkat internasional, Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Konvensi ini merupakan instrumen hukum hak asasi manusia yang secara khusus mengatur tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak politik.
Pasal 29 CRPD mengatur bahwa negara-negara pihak harus menjamin hak dan kesempatan penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, tanpa diskriminasi dan berdasarkan prinsip kesetaraan. Negara-negara pihak juga harus memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Selain itu, negara-negara pihak harus memfasilitasi penggunaan teknologi asistif dan teknologi baru yang sesuai untuk penyandang disabilitas.
Pada tingkat nasional, hak politik penyandang disabilitas juga diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatur bahwa setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum berdasarkan hak yang sama melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 43).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang mengatur bahwa penyandang disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden, sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan sebagai penyelenggara Pemilihan Umum, sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan (Pasal 5). Undang-undang ini juga mengatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin bahwa penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik secara langsung atau melalui perwakilan (Pasal 6).
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur bahwa setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam Pemilihan Umum berdasarkan hak yang sama melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 4). Undang-undang ini juga mengatur bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan kemudahan dan bantuan dalam menggunakan hak pilihnya (Pasal 5 ayat (2) huruf f).
Dari kerangka hukum di atas, dapat dikatakan bahwa hak politik penyandang disabilitas sudah diakomodasi secara cukup baik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, apakah hal ini sudah mencerminkan realitas di lapangan?
Hak Politik Penyandang Disabilitas dalam Praktik
Meskipun hak politik penyandang disabilitas sudah diatur dalam berbagai instrumen hukum, namun dalam praktiknya masih terdapat banyak kendala dan tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam mengakses dan berpartisipasi dalam proses politik. Beberapa di antaranya adalah:
- Kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak politik. Hal ini menyebabkan adanya stigma, diskriminasi, dan marginalisasi terhadap penyandang disabilitas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, ada anggapan bahwa penyandang disabilitas tidak mampu atau tidak berkompeten untuk berpolitik, atau ada praktik yang menghalangi atau mengintimidasi penyandang disabilitas untuk menggunakan hak pilihnya.
- Kurangnya aksesibilitas dan fasilitas bagi penyandang disabilitas dalam proses politik. Hal ini mencakup aksesibilitas fisik, informasi, komunikasi, dan partisipasi. Misalnya, masih banyak tempat pemungutan suara (TPS) yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas, seperti tidak adanya ramp, jalur khusus, atau toilet yang sesuai. Selain itu, masih banyak informasi politik yang tidak disajikan dalam format yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas, seperti braille, isyarat, atau audio. Selanjutnya, masih kurangnya saluran komunikasi yang efektif antara penyandang disabilitas dan penyelenggara pemilu, partai politik, atau calon pemimpin. Akhirnya, masih rendahnya partisipasi penyandang disabilitas dalam organisasi politik, baik sebagai anggota, pengurus, maupun kader.
- Kurangnya dukungan dan advokasi bagi penyandang disabilitas dalam proses politik. Hal ini mencakup dukungan dan advokasi dari pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, organisasi masyarakat sipil, media, keluarga, dan masyarakat. Misalnya, masih kurangnya alokasi anggaran, sumber daya manusia, dan sarana prasarana yang memadai untuk memfasilitasi hak politik penyandang disabilitas. Selain itu, masih kurangnya kebijakan, program, dan kegiatan yang bersifat afirmatif, inklusif, dan partisipatif bagi penyandang disabilitas dalam proses politik. Selanjutnya, masih kurangnya pengawasan, pelaporan, dan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran hak politik penyandang disabilitas. Akhirnya, masih kurangnya edukasi, sosialisasi, dan mobilisasi bagi penyandang disabilitas dan pemangku kepentingan lainnya terkait dengan hak politik penyandang disabilitas.
Hak Politik Penyandang Disabilitas: Menuju Pemenuhan yang Lebih Baik
Hak politik penyandang disabilitas adalah hak asasi manusia yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara dan masyarakat. Hak politik penyandang disabilitas juga merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan demokrasi yang sejati, yaitu demokrasi yang mengakui dan menghargai keberagaman, kesetaraan, dan keterwakilan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya yang lebih serius dan sistematis untuk meningkatkan pemenuhan hak politik penyandang disabilitas di Indonesia. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:
Meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak politik, melalui berbagai media dan metode, seperti kampanye, seminar, diskusi, publikasi, dan lain-lain. Hal ini bertujuan untuk menghapus stigma, dan diskriminasi.
Selain itu, perlu diketahui bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (“CRPD”) yang menyatakan bahwa negara-negara peserta harus memastikan bahwa penyandang disabilitas memiliki akses yang efektif ke sistem peradilan pada dasar kesetaraan dengan orang lain, termasuk penyediaan akomodasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selanjutnya, Pasal 14 CRPD menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk tidak diprivasi kemerdekaannya secara sewenang-wenang dan bahwa mereka berhak atas jaminan proses hukum yang sama dengan orang lain dalam segala situasi.
Dalam konteks Indonesia, UU 8/2016 juga mengatur tentang hak-hak sipil dan politik penyandang disabilitas, antara lain:
- Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan yang adil dan tidak diskriminatif (Pasal 16 ayat (1)).
- Hak untuk mendapatkan bantuan hukum gratis dari pemerintah atau organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang hukum (Pasal 16 ayat (2)).
- Hak untuk mendapatkan akomodasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka dalam proses peradilan, termasuk penggunaan bahasa isyarat, alat bantu komunikasi, atau fasilitas lain yang diperlukan (Pasal 16 ayat (3)).
- Hak untuk tidak diprivasi kemerdekaannya secara sewenang-wenang dan mendapatkan jaminan proses hukum yang sama dengan orang lain (Pasal 17).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak-hak politik yang sama dengan warga negara lainnya, baik untuk memilih maupun dipilih dalam pemilihan umum, termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun, penyandang disabilitas juga harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, salah satunya adalah mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden. Selain itu, penyandang disabilitas juga berhak mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan yang adil dan tidak diskriminatif, serta akomodasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka dalam proses peradilan.