Harga minyak dunia kembali menguat pada awal pekan ini, seiring dengan memanasnya konflik di wilayah Laut Merah yang mengancam pasokan minyak global. Apa yang terjadi di sana dan bagaimana dampaknya bagi Indonesia?
Laut Merah adalah sebuah selat sempit yang menghubungkan Laut Tengah dengan Samudra Hindia. Selat ini memiliki panjang sekitar 2.250 km dan lebar rata-rata 280 km. Di sepanjang selat ini terdapat beberapa negara penting, seperti Mesir, Sudan, Eritrea, Djibouti, Yaman, Arab Saudi, dan Israel.
Laut Merah juga merupakan jalur perdagangan utama antara Eropa, Asia, dan Timur Tengah. Melalui Terusan Suez, kapal-kapal dapat mengangkut barang-barang dari Eropa ke Asia tanpa harus melintasi Afrika. Salah satu komoditas yang banyak dilewatkan di Laut Merah adalah minyak mentah.
Menurut data dari BP Statistical Review of World Energy 2024, Laut Merah merupakan jalur pengiriman minyak terbesar kedua di dunia, setelah Selat Hormuz. Pada tahun 2023, sekitar 9,2 juta barel per hari (bpd) minyak mentah dan produk minyak melewati Laut Merah, atau sekitar 10% dari total produksi minyak dunia.
Namun, Laut Merah juga menjadi saksi bisu dari berbagai konflik yang terjadi di sekitarnya. Sejak tahun 2015, Yaman mengalami perang saudara antara pemerintah yang didukung oleh Arab Saudi dan koalisi internasional, melawan pemberontak Houthi yang didukung oleh Iran.
Perang ini telah menimbulkan krisis kemanusiaan yang parah, dengan jutaan orang mengalami kelaparan, penyakit, dan kematian. Selain itu, perang ini juga berdampak pada keamanan di Laut Merah, karena Houthi sering menyerang kapal-kapal yang melintas di sana, terutama yang berasal dari atau menuju Arab Saudi.
Pada awal tahun ini, ketegangan di Laut Merah meningkat lagi, setelah Iran mengumumkan penangkapan kapal tanker minyak sipil ‘St Nicholas’ berbendera Kepulauan Marshall yang membawa minyak mentah Irak dengan tujuan Turki di Teluk Oman. Iran mengklaim bahwa kapal tersebut melanggar hukum internasional dan membahayakan keamanan nasionalnya.
Sebagai balasan, Amerika Serikat (AS) dan Inggris melancarkan serangan udara terhadap posisi-posisi militer Houthi di Yaman, termasuk di ibu kota Sanaa dan Hodeidah, menggunakan pesawat, kapal perang, dan kapal selam. Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa aksi militer tersebut dia perintahkan sebagai respons terhadap serangan Houthi terhadap kapal-kapal di Laut Merah.
Serangan itu menargetkan depot amunisi, sistem peluncuran, fasilitas produksi, dan sistem radar pertahanan udara Houthi. AS dan Inggris mengatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk mencegah Houthi melancarkan serangan lebih lanjut dan mengganggu perdagangan global di Laut Merah.
Namun, Houthi tidak tinggal diam. Mereka mengancam akan melakukan serangan balasan terhadap AS, Inggris, dan Arab Saudi, serta menghentikan semua kapal yang melintas di Laut Merah. Mereka juga mengklaim bahwa mereka memiliki senjata canggih yang dapat menjangkau target-target di jarak jauh.
Akibat dari eskalasi konflik ini, harga minyak dunia mengalami kenaikan yang signifikan. Pada perdagangan Senin (15/1/2024) pukul 09.45 WIB, harga minyak WTI kontrak Februari 2024 naik 0,18% atau 0,13 poin menjadi US$72,81 per barel. Harga minyak Brent kontrak Maret 2024 juga naik 0,28% atau 0,22 poin menuju US$78,51 per barel.
Kenaikan harga minyak ini disebabkan oleh meningkatnya kekhawatiran terhadap potensi gangguan pasokan minyak akibat konflik di Laut Merah. Jika konflik ini berlangsung dalam jangka panjang, dapat memicu krisis rantai pasokan minyak dunia, yang akan berdampak pada ketersediaan dan harga minyak di berbagai negara.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia tentu akan terkena imbas dari kenaikan harga minyak dunia. Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2023, Indonesia mengimpor rata-rata 1,2 juta bpd minyak mentah dan produk minyak, sementara produksi dalam negeri hanya sekitar 700 ribu bpd.
Dengan demikian, Indonesia memiliki defisit minyak sekitar 500 ribu bpd, yang harus ditutup dengan impor. Jika harga minyak dunia naik, maka biaya impor minyak Indonesia juga akan naik, yang akan menambah beban neraca perdagangan dan defisit anggaran negara.
Selain itu, kenaikan harga minyak dunia juga akan berpengaruh pada harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri, yang sebagian besar masih bersubsidi. Jika harga BBM tidak disesuaikan dengan harga minyak dunia, maka subsidi BBM akan membengkak, yang akan mengurangi ruang fiskal untuk belanja publik lainnya.
Namun, jika harga BBM disesuaikan dengan harga minyak dunia, maka akan menimbulkan dampak inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. Hal ini juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mencari solusi untuk mengatasi ketergantungan terhadap impor minyak, yang membuatnya rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah meningkatkan produksi minyak dalam negeri, mengembangkan energi baru terbarukan, dan mengurangi konsumsi BBM dengan beralih ke kendaraan listrik atau gas.
Dengan demikian, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap minyak dunia, yang tidak hanya bermanfaat bagi perekonomian, tetapi juga bagi lingkungan dan masa depan generasi mendatang.