jlk – Di tengah samudra demokrasi yang luas, Indonesia bagaikan kapal yang berlayar tanpa kompas. Para pemilih, dengan semangat kebebasan yang membara, melompat ke kemudi tanpa peta atau bintang pandu.
Mereka menarik layar dengan asumsi bahwa angin perubahan akan membawa mereka ke daratan impian. Namun, ironisnya, mereka malah terombang-ambing di lautan kebodohan yang tak bertepi.
Socrates di Pemilu 2024: Nakhoda yang Ditolak
Bayangkanlah Socrates, seorang filsuf yang bijaksana, hidup kembali dari alam kubur dan mendapati dirinya berada di tengah-tengah kegaduhan pemilu Indonesia 2024.
Ia menyaksikan, dengan pandangan yang semakin tajam, bagaimana pemilih menyia-nyiakan hak suara mereka dengan melemparkan kertas suara ke dalam kotak seperti melemparkan koin ke dalam kolam permohonan.
“Ah, betapa para pemilih ini lebih memilih pemilik toko permen daripada dokter yang tegas,” gumamnya sambil menggelengkan kepala.
Demokrasi atau Demagogi?
Pemilu bukanlah ajang pencarian bakat, di mana setiap orang bisa naik panggung dan menyanyikan lagu kebebasan.
Pemilu adalah proses demokratis yang serius, di mana setiap orang harus menggunakan hak suaranya dengan bijak dan bertanggung jawab. Bukan tempat untuk menunjukkan kemampuan atau ambisi pribadi yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.
Ini adalah proses serius yang menentukan nasib bangsa. Namun, apa yang terjadi? Kita menyaksikan parade demagog yang licik, yang merayu pemilih dengan janji-janji manis layaknya penjual obat keliling.
Mereka berbicara tentang solusi instan, seolah-olah masalah kompleks bisa dipecahkan dengan pil ajaib.
Pendidikan Pemilih: Obat Mujarab yang Terlupakan
Di tengah keramaian pasar demokrasi, suara para pemikir tenggelam oleh teriakan para pedagang ilusi.
Socrates, dengan sabar, mencoba mengingatkan kita bahwa pendidikan pemilih adalah kunci.
Tanpa itu, kita hanya akan memilih berdasarkan warna bendera atau manisnya kata-kata, bukan berdasarkan kebijaksanaan atau keahlian.
Saatnya Mengambil Kemudi
Indonesia, negeri yang kaya akan budaya dan sumber daya, pantas mendapatkan lebih dari sekadar pesta demokrasi yang berujung pada mabuk kekuasaan.
Saatnya para pemilih bangkit dari tidur panjangnya, mengasah pikiran, dan memilih dengan hati nurani.
Hanya dengan demikian, kapal demokrasi Indonesia dapat berlayar menuju horison yang cerah, meninggalkan lautan kebodohan yang gelap gulita.