Di negeri yang dipimpin oleh para penggembira kata-kata, di mana keluguan intelektual dibungkus retorika kosong, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berdiri tegak sebagai ikon kemunduran berpikir.
Saat perang dagang AS-Indonesia mengguncang fondasi ekonomi nasional, ia malah bersikap bak penonton yang menikmati pertunjukan, melontarkan jargon-jargon usang seolah dinamika global adalah mantra penenang jiwa-jiwa yang resah.
“Biasa saja, dinamika,” ujarnya, dengan wajah yang lebih cocok untuk stand-up comedy ketimbang ruang rapat kementerian. Tapi jangan tertipu, di balik senyum sumringahnya, dan kepala botaknya tersimpan kelalaian yang membusuk, kebijakan yang mandek, dan visi yang lebih pendek dari tweet basi.
Dinamika atau Bencana?
Istilah “dinamika” dalam kamus Bahlil adalah eufemisme untuk menutupi kebangkrutan strategi. AS mengerek tarif impor, mengancam ekspor Indonesia, dan menggoyang ketahanan industri dalam negeri. Tapi bagi sang menteri, ini hanyalah “bagian dari permainan” yang tak perlu direspons serius.
Sungguh, betapa cerdasnya logika ini! Seolah kenaikan biaya ekspor, ancaman PHK massal, dan lesunya investasi hanyalah angin lalu yang bisa diatasi dengan mengunyah permen karet sambil menatap langit.
Di dunia nyata, di mana pabrik-pabrik mengeluarkan asap keputusasaan dan pedagang kecil meratap di balik kalkulator, “dinamika” Bahlil adalah bencana yang dibungkus plastik kemasan kata-kata manis.
Alih-alih merumuskan langkah konkret, Bahlil asyik berkhayal tentang “peluang” di balik krisis. Peluang yang ia maksud adalah ilusi bagi mereka yang terbiasa hidup di menara gading.
Sementara rakyat jelata berjuang melambungnya harga sembako, sang menteri sibuk berdebat tentang hilirisasi dan industrialisasi—dua konsep yang sudah dikuliti sampai ke tulangnya oleh pemerintah sebelumnya, tanpa pernah melahirkan daging kebijakan yang berdaya guna.
Ini bukan strategi, tapi lelucon tragis yang diulang-ulang hingga kehilangan makna.
Dongeng Pengantar Tidur untuk Bangsa yang Terjajah
Hilirisasi. Satu kata yang menjelma menjadi mantra sakti untuk meninabobokan publik. Bahlil, dengan percaya diri yang memalukan, menjual mimpi tentang pengolahan sumber daya alam dalam negeri seolah ia baru saja menemukan gunung emas.
Padahal, selama puluhan tahun, Indonesia hanya menjadi kuli di rumah sendiri: mengekspor bahan mentah, mengimpor barang jadi, dan membiarkan nilai tambah menguap ke negara-negara yang paham betul cara mengolah kekayaan alam.
Sang menteri lupa—atau pura-pura lupa—bahwa infrastruktur hilir kita masih sekeropos jembatan timbang di pelabuhan. Regulasi yang berbelit, korupsi yang merajalela, dan minimnya insentif bagi investor dalam negeri telah mengubur mimpi hilirisasi dalam kubangan ketidakbecusan birokrasi.
Sementara itu, izin tambang untuk korporasi asing terus digulirkan, seolah Bahlil tidak sadar bahwa ia sedang menjual masa depan bangsa dengan diskon 70%. Ini bukan kebijakan, tapi pengkhianatan terselubung.
Di satu sisi, ia menggembar-gemborkan kemandirian; di sisi lain, kekayaan alam kita dikuras habis-habisan oleh tangan asing yang membayar upeti kepada elite politik. Jika ini yang disebut “berdiri di kaki sendiri”, maka kaki yang dimaksud adalah kaki palsu yang siap patah di tengah jalan.
Lifting Migas
Tak ketinggalan, Bahlil menjanjikan peningkatan lifting migas seolah ia sedang membagikan brosur promo supermarket. Padahal, Indonesia sudah puluhan tahun terperosok dalam kubangan impor migas, dengan produksi domestik yang stagnan dan investasi di sektor hulu yang mati suri.
Infrastruktur eksplorasi kita ketinggalan zaman, teknologi terbelakang, dan regulasi investasi lebih beracun daripada limbah tambang. Alih-alih mengakui kegagalan, sang menteri malah mengecatnya dengan jargon “ketahanan energi”, seolah kata-kata bisa mengubah minyak mentah menjadi emas cair.
Sementara negara-negara maju berlomba menuju transisi energi terbarukan, Bahlil dan kroni-kroninya justru asyik menggali kuburan untuk masa depan bangsa dengan tetap bersandar pada energi fosil yang semakin usang.
Visinya tentang ketahanan energi adalah ilusi bagi mereka yang masih terpesona oleh gemerlap dollar dari blok migas, tanpa pernah mau membuka mata bahwa dunia sedang berubah.
Retorika untuk Menutupi Ketidakberdayaan
“Berdiri di kaki sendiri” adalah slogan usang yang diulang-ulang hingga kehilangan ruh.
Di tangan Bahlil, slogan ini menjadi tameng untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah membangun fondasi industri yang kompetitif.
Industri dalam negeri tercekik oleh mahalnya biaya logistik, pajak yang mencekik, dan banjir produk impor murah yang dibiarkan masuk tanpa filter.
Lihatlah proyek hilirisasi nikel yang diagung-agungkan. Feronikel diekspor, tapi teknologi baterai litium dan produk hilir bernilai tinggi tetap dikuasai asing.
Kita hanya menjadi penyedia bahan baku setengah jadi, sementara negara lain meraup keuntungan berlipat. Ini bukan kemandirian, tapi kemandegan yang dibungkus kertas kado jargon.
Sandiwara Kata-Kata yang Harus Diakhiri
Bahlil Lahadalia adalah simbol dari generasi pemimpin yang lebih pandai menari di panggung retorika ketimbang mengotori tangan dengan kerja nyata.
Setiap pernyataannya adalah pengalihan, setiap kebijakannya adalah utang yang tak pernah lunas. Ia menjual harapan palsu dengan kemasan “dinamika”, “peluang”, dan “hilirisasi”, sambil melupakan bahwa rakyat butuh solusi, bukan dongeng.
Jika Bahlil tak sanggup memimpin, lebih baik ia minggir—jangan jadi penghalang kemajuan bangsa. Negeri ini tidak butuh menteri yang gemar omon-omong, tapi pemimpin yang berani menghadapi realitas, sekaligus pahit dan keras.
Saat pabrik tutup, pengangguran meroket, dan harga energi melambung, rakyat tidak butuh dalih. Mereka butuh tindakan. Dan jika Bahlil tidak mampu, biarkan ia menjadi sejarah—sebagai menteri yang gagal, yang lebih ahli bicara ketimbang bekerja.
Kebahlilan bukan lagi kelucuan, tapi tragedi. Dan tragedi ini harus segera diakhiri.