Bayangkan, KTP-mu sudah benar, alamat sesuai, tanda tangan sempurna. Tapi begitu liat BPJS pas mau berobat. Seolah-olah ada “perseteruan diam-diam” antara database KTP dan BPJS yang tidak mau akur. Siapa yang salah? Tentu saja warga yang harus lari bolak-balik.
Dua dokumen penting ini kerap berseteru di meja warga, bukan karena salah mereka, tapi karena sistem yang bobrok dan berantakan. Hasilnya? Warga yang jadi korban kegagalan birokrasi.
Masalah klasiknya, Data tidak terintegrasi. Desa sudah mengklaim “go digital”, tapi nyatanya, data KTP yang seharusnya menjadi induk justru kerap bertengkar dengan data BPJS.
Alhasil, warga harus menjadi “juru damai” dengan membawa berkas dari kantor desa ke kecamatan, bahkan sampai ke dukun (eh, BPJS Kesehatan maksudnya).
Jangan kaget jika ada kasus seorang nenek yang KTP-nya sudah revisi tiga kali, tapi di data BPJS masih tercatat sebagai “sudah meninggal” (padahal beliau sehat walafiat). Atau pemuda yang tiba-tiba punya dua nama karena sistem menganggapnya sebagai dua orang berbeda. Ini bukan salah fantasi, ini salah administrasi!
Pihak desa biasanya hanya bisa mengangkat bahu, ketika ditanya kenapa data yang dikirim ke pusat selalu kacau, jawabannya klasik: “Sistemnya error.” Error-nya sudah jadi langganan, tapi perbaikinya masih jadi PR.
“Ini yang buat bukan saya, tapi kok saya dapat susahnya memperbaiki data ini ya, kan seharunya pemerintah desa yang memperbaikinya. Kalau bukan sanak keluarga sudah pasti saya tolak. Ujar warga desa yang dimintai bantuan ketika saudaranya sedang dirawat dirumah sakit daerah dengan memakai BPJS.
Tak sampai disitu, fenomena ini terjadi ketika salah satu keluarga dari warga tersebut dirawat di rumah sakit daerah yang kebetulan menggunakan BPJS alias askes lalu kemudian disibukan dengan ketidaksesuaian antara database KTP dan BPJS yang pada saat itu nama di KTP dan BPJS tak sesuai. Hingga harus bolak balik ke kantor BPJS untuk mengurus data itu dan pada saat yang sama ada keluarga yang menyeru kesakitan.
Selain itu ada salah seorang warga, sebut saja si boy yang dimintai bantuan oleh salah satu tetangganya untuk mengurus kesalahan database yang tidak sesuai antara KTP dan BPJS yakni di NIKnya. Kejadian itu bermula saat warga yang meminta bantuan itu hendak berangkat ke tanah suci, lalu administrasi yang harus dilengkapi adalah kartu BPJS sebagai salah satu syarat.
Yang membuat salah siapa yang bertanggung jawab siapa, terbukti kan kalo pemerintah desanya gak becus ngurus administrasi ya dampaknya ke kita yang repot. Ujar boy yang dimintai bantuan dengan ekspresi tersenyum tertekan.
Diketahui setelah beberapa kali mencoba menghubungi aparat desa, hasilnya nihil. Dengan dilempar masalah ini dari aparat desa A ke aparat desa B, dari aparat B ke aparat C, dan lingkaran setan ini terus berputar. Hingga akhirnya ia yang harus berjuang membawa berkas berkas ke Kantor BPJS Kabupaten.
Solusinya sebenarnya simpel: integrasi data dan transparansi. Tapi entah mengapa, ini masih jadi mimpi jauh. Mungkin karena “KTP dan BPJS harus tetap bersaing agar warga tidak bosan,” canda seorang aktivis dengan nada frustrasi.
Terbukti bahwa administrasi dengan gaya ringan saja pemerintah desa sudah kacau, apalagi administrasi yang berat. Mungkin Aparatur desa lebih sibuk menyiapkan laporan administrasi tentang proyek-proyek fiktifnya daripada melayani masyarakat.
Kalau ada yang lebih seram dari hantu di bulan April, itu adalah urusan administrasi desa yang berantakan. KTP dan BPJS mungkin akan terus “bertengkar”, tapi jangan sampai warga yang selalu jadi pihak yang kalah.