Kenapa Negara-Negara Muslim Tertarik dengan Uang China?

zajpreneur By zajpreneur
12 Min Read
Kenapa Negara-Negara Muslim Tertarik dengan Uang China?
Kenapa Negara-Negara Muslim Tertarik dengan Uang China?

Sebelum membahas alasan-alasan di balik sikap negara-negara Muslim terhadap China, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu latar belakang dan fakta-fakta mengenai isu Xinjiang.

Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diketahui:

Xinjiang adalah wilayah otonomi di China yang memiliki luas sekitar 1,6 juta km persegi, atau sekitar empat kali luas Jawa.

Wilayah ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, terutama minyak, gas, dan batu bara.

- Advertisement -

Xinjiang juga merupakan bagian penting dari proyek Belt and Road Initiative (BRI), sebuah ambisi China untuk membangun jaringan infrastruktur dan perdagangan yang menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika.

Xinjiang dihuni oleh sekitar 25 juta jiwa, yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, seperti Han, Uighur, Kazakh, Kyrgyz, Mongol, Tajik, dan lain-lain.

Uighur adalah kelompok etnis terbesar di Xinjiang, yang mencapai sekitar 10 juta jiwa, atau 40 persen dari total populasi.

Uighur memiliki bahasa, budaya, dan agama yang berbeda dengan mayoritas Han, yang mendominasi China. Uighur berbicara dalam bahasa Turkik, yang mirip dengan bahasa Turki, dan beragama Islam Sunni.

Xinjiang memiliki sejarah yang panjang dan rumit, yang melibatkan berbagai kekuatan politik, baik lokal maupun asing.

- Advertisement -

Xinjiang pernah menjadi bagian dari berbagai kerajaan dan imperium, seperti Dinasti Han, Dinasti Tang, Kerajaan Uighur, Kerajaan Mongol, Dinasti Qing, Kekhanan Kokand, Kekaisaran Rusia, Republik China, dan Republik Rakyat China.

Xinjiang juga pernah mengalami beberapa kali pemberontakan dan upaya kemerdekaan, yang terakhir adalah pada tahun 1949, ketika Republik Rakyat China mengambil alih wilayah tersebut dari Republik China.

Xinjiang menjadi sasaran kebijakan asimilasi dan sinisasi oleh pemerintah China, yang bertujuan untuk menghapus identitas etnis dan agama Uighur, serta menggantinya dengan ideologi komunis dan nasionalis.

- Advertisement -

Kebijakan ini meliputi migrasi besar-besaran etnis Han ke Xinjiang, pembatasan kebebasan beribadah dan berpendapat, penghapusan bahasa dan literatur Uighur, serta penindasan terhadap aktivis dan intelektual Uighur.

Kebijakan ini juga didukung oleh propaganda media dan pendidikan, yang menggambarkan Uighur sebagai kelompok teroris, separatis, dan ekstremis, yang mengancam keamanan dan stabilitas China.

Xinjiang menjadi sumber konflik dan ketegangan antara China dan negara-negara lain, terutama Barat dan Muslim.

Negara-negara Barat, yang mengklaim sebagai pembela hak asasi manusia dan demokrasi, menuduh China melakukan genosida, etnis bersih, dan kejahatan kemanusiaan terhadap Uighur.

Negara-negara ini juga mengancam China dengan berbagai sanksi ekonomi, politik, dan diplomatik, serta mendukung gerakan kemerdekaan Uighur.

Sementara itu, negara-negara Muslim, yang seharusnya bersimpati dengan saudara seiman mereka, justru cenderung mendukung atau diam terhadap kebijakan China di Xinjiang.

Negara-negara ini juga menjalin kerjasama yang erat dengan China dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, perdagangan, dan investasi.

Pembahasan

Bagaimana Cina Bisa Jadi Negara Terdepan dalam Bidang Teknologi Mengalahkan Jepang dan Amerika?
Bagaimana Cina Bisa Jadi Negara Terdepan dalam Bidang Teknologi Mengalahkan Jepang dan Amerika?

Setelah mengetahui latar belakang dan fakta-fakta mengenai isu Xinjiang, kita dapat mulai membahas alasan-alasan di balik sikap negara-negara Muslim terhadap China.

Berikut adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sikap tersebut:

Faktor ekonomi. China adalah salah satu negara terbesar dan terkuat di dunia, baik dari segi populasi, luas wilayah, produk domestik bruto, maupun militer.

China juga merupakan mitra dagang dan investor yang penting bagi banyak negara, termasuk negara-negara Muslim.

China menawarkan berbagai insentif dan fasilitas, seperti pinjaman, bantuan, proyek infrastruktur, dan akses pasar, yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan negara-negara Muslim.

China juga tidak menuntut syarat-syarat politik atau ideologis, seperti reformasi demokrasi, hak asasi manusia, atau transparansi, yang sering diajukan oleh negara-negara Barat.

Oleh karena itu, negara-negara Muslim cenderung tidak mau mengambil risiko kehilangan hubungan yang menguntungkan dengan China, hanya karena masalah Uighur, yang dianggap sebagai urusan dalam negeri China.

Faktor politik. China adalah salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yang memiliki hak veto terhadap resolusi-resolusi yang berkaitan dengan isu-isu internasional.

China juga memiliki pengaruh yang besar di berbagai organisasi dan forum regional dan global, seperti ASEAN, G20, BRICS, SCO, dan lain-lain.

China juga memiliki hubungan yang baik dengan negara-negara adidaya lain, seperti Rusia, India, dan Iran, yang dapat menjadi sekutu atau lawan bagi negara-negara Muslim.

Oleh karena itu, negara-negara Muslim cenderung tidak mau menyinggung atau menantang China, yang dapat berdampak negatif bagi kepentingan dan posisi mereka di dunia.

Negara-negara Muslim juga mengharapkan dukungan dan perlindungan dari China, terutama terkait dengan isu-isu yang sensitif bagi mereka, seperti Palestina, Kashmir, Rohingya, dan lain-lain.

Faktor ideologis. China adalah negara yang menganut ideologi komunis, yang secara teori bertentangan dengan ideologi Islam.

Namun, dalam praktiknya, China menunjukkan sikap yang toleran dan pragmatis terhadap Islam, baik di dalam maupun luar negeri.

China mengakui dan menghormati keberadaan dan kontribusi umat Islam dalam sejarah dan budaya China, serta memberikan kebebasan beribadah dan berpendapat, selama tidak mengancam keamanan dan stabilitas negara.

China juga menjalin hubungan yang erat dengan negara-negara Muslim, baik dalam bentuk kerjasama ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan agama.

China juga mendukung dan berpartisipasi dalam berbagai inisiatif dan organisasi internasional yang berkaitan dengan Islam, seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KTTAA), dan Forum Dialog Peradaban Dunia (FDPD).

Faktor sosial. China memiliki populasi Muslim yang cukup besar, yang mencapai sekitar 20 juta jiwa, atau 1,5 persen dari total populasi.

Populasi Muslim China terdiri dari berbagai kelompok etnis, seperti Hui, Uighur, Kazakh, Kyrgyz, Salar, Dongxiang, dan lain-lain, yang tersebar di berbagai wilayah, seperti Ningxia, Xinjiang, Gansu, Qinghai, Yunnan, dan lain-lain.

Populasi Muslim China juga memiliki berbagai aliran dan tradisi Islam, seperti Sunni, Syiah, Sufi, dan lain-lain, yang berinteraksi dan beradaptasi dengan budaya dan masyarakat China.

Oleh karena itu, China memiliki pemahaman dan pengalaman yang cukup dalam mengelola dan mengintegrasikan Islam dalam masyarakat dan negara yang mayoritas non-Muslim.

Faktor historis. China memiliki sejarah yang panjang dan kompleks dengan Islam, yang dimulai sejak abad ke-7 Masehi, ketika pedagang dan misionaris Arab dan Persia pertama kali datang ke China melalui Jalur Sutra.

Sejak itu, Islam telah menjadi bagian integral dari sejarah dan budaya China, yang berkontribusi dalam berbagai bidang, seperti perdagangan, ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, musik, sastra, dan lain-lain.

Islam juga telah mengalami berbagai periode naik dan turun dalam sejarah China, mulai dari periode toleransi dan kemakmuran, hingga periode penindasan dan diskriminasi.

Oleh karena itu, China memiliki perspektif dan pendekatan yang unik dan berbeda terhadap Islam, yang mungkin tidak dimengerti atau dihargai oleh negara-negara lain, terutama Barat dan Muslim.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap negara-negara Muslim terhadap China di Xinjiang bukanlah hasil dari kehilangan rasa kemanusiaan atau solidaritas mereka, atau karena mereka hanya tertarik dengan uang China.

Sikap tersebut lebih merupakan hasil dari pertimbangan dan kalkulasi yang kompleks dan rasional, yang melibatkan berbagai faktor, seperti ekonomi, politik, ideologi, sosial, dan historis.

Sikap tersebut juga mencerminkan realitas dan tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Muslim dalam dunia yang semakin global dan saling terkait, di mana mereka harus berjuang untuk mempertahankan dan memajukan kepentingan dan identitas mereka, sambil juga beradaptasi dan berkolaborasi dengan negara-negara lain, termasuk China.

Namun, sikap tersebut bukan berarti bahwa negara-negara Muslim tidak peduli atau tidak berbuat apa-apa terhadap nasib Uighur.

Sebaliknya, banyak negara dan organisasi Muslim yang telah menyuarakan keprihatinan dan kritikan mereka terhadap kebijakan China di Xinjiang, baik secara terbuka maupun tertutup.

Beberapa negara dan organisasi Muslim juga telah mengambil langkah-langkah konkret untuk membantu Uighur, seperti memberikan suaka, bantuan, advokasi, dan lain-lain.

Beberapa negara dan organisasi Muslim juga telah berusaha untuk berdialog dan bekerja sama dengan China, dalam rangka mencari solusi yang adil dan berkelanjutan untuk isu Xinjiang.

Akhirnya, artikel ini berharap dapat memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih baik tentang sikap negara-negara Muslim terhadap China di Xinjiang, serta mendorong pembaca untuk berpikir dan bertindak secara lebih kritis, empatik, dan proaktif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia, agama, etnis, dan negara.

Artikel ini juga berharap dapat menjadi jembatan yang menghubungkan dan memperkaya dialog dan kerjasama antara Barat, Muslim, dan China, dalam rangka menciptakan dunia yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan. Terima kasih telah membaca dan selamat berpikir.

Demikian Kisanak.

Referensi

  • “Xinjiang: What you need to know about China’s Uighur crisis”, BBC News, 2023.
  • “The Uighurs and the Chinese state: A long history of discord”, The Guardian, 2023.
  • “Why do Muslim states stay silent over China’s abuse of the Uighurs?”, The Guardian, 2023.
  • “China’s Belt and Road Initiative: What’s in it for Muslim-majority countries?”, Al Jazeera, 2023.
  • “The plight of the Uighurs: ‘I feel helpless’”, Al Jazeera, 2023.
Share This Article