jfid – Di sebuah desa terpencil, hiduplah seorang anak bernama Sang Danding bersama ibunya, seorang janda miskin. Sang Danding adalah anak yang sangat dikasihi oleh ibunya karena ia adalah satu-satunya anak yang dimilikinya. Setiap hari, Sang Danding gemar menjelajahi hutan di sekitar desanya. Ia selalu membawa tulup, yaitu sumpit yang digunakan untuk menangkap burung atau binatang kecil lainnya.
Suatu hari, Sang Danding kembali ke rumah hingga larut malam setelah seharian bermain di hutan. Ibunya memarahinya karena khawatir dengan keselamatannya. Namun, Sang Danding yang merasa kesal dengan teguran itu memutuskan kembali ke hutan.
Di tengah hutan, ia mendengar suara burung Cimplong yang sedang berkicau riang di atas pohon. Kicauan burung itu terdengar berbeda dari burung-burung lainnya, seolah memanggil-manggil Sang Danding.
“Cuit-cuit-cuit,” berkicau burung Cimplong dengan nada yang unik.
Penasaran dengan suara burung tersebut, Sang Danding memutuskan untuk mendekati pohon tempat burung itu bertengger. Dengan keterampilan yang dimilikinya, ia berhasil menyumpit burung Cimplong dan menjatuhkannya dari atas pohon.
Setelah burung itu terjatuh, Sang Danding memperhatikan bahwa burung Cimplong itu tidak seperti burung biasa. Meskipun terluka, burung itu tetap berkicau dengan suara yang aneh dan menawan hati. Ia merasa ada yang istimewa dengan burung ini.
Dengan hati-hati, Sang Danding membawa burung tersebut pulang dan meminta ibunya untuk memasaknya. Meski heran, ibunya memenuhi permintaan Sang Danding dan memasak burung itu dengan bumbu garang asam, hidangan khas yang digemari Sang Danding.
Setelah selesai makan, Sang Danding tiba-tiba merasa ingin buang air besar. Namun, anehnya, ia merasakan dorongan untuk melakukannya di atas kasur baru. Padahal, jangankan kasur baru, kasur lama pun mereka tidak punya. Sehari-hari, mereka hanya tidur beralaskan selembar tikar.
Merasa tidak tahan, Sang Danding meminta ibunya untuk meminjam kasur baru dari tetangga. Namun, para tetangga menolak meminjamkan kasur mereka karena alasan yang terdengar tidak masuk akal dan aneh.
Setelah hampir putus asa, ibunya teringat kepada Janda Suciati, seorang perempuan baik hati yang tinggal seorang diri di ujung desa. Tanpa banyak bertanya, Janda Suciati bersedia meminjamkan kasur barunya kepada ibu Sang Danding.
Sesampainya di rumah, Sang Danding segera berjongkok di atas kasur baru yang telah digelar ibunya di atas lantai tanah. Dengan rasa tidak percaya, mereka menyaksikan Sang Danding benar-benar buang hajat, namun yang keluar bukanlah kotoran, melainkan uang emas yang banyak dan berbunyi gemerincing.
Ibunya terkejut dan senang. Dengan uang emas itu, mereka memperbaiki rumah dan membeli perlengkapan yang dibutuhkan. Sebagai tanda terima kasih, mereka juga memberikan sebagian emas kepada Janda Suciati.
Kabar tentang Sang Danding yang buang hajat emas segera tersebar ke seluruh desa. Orang-orang terkejut melihat perubahan yang terjadi pada rumah janda miskin itu. Rumah yang dulu reot kini berubah menjadi megah. Mereka yang sebelumnya menolak meminjamkan kasur merasa menyesal dan iri.
Sementara itu, seorang janda kaya di desa itu merasa iri dengan keberuntungan yang didapatkan oleh Sang Danding. Sebagai orang terkaya di desa, ia tidak ingin ada orang lain yang lebih kaya darinya. Maka, ia menyuruh anak laki-lakinya untuk pergi ke hutan dan menangkap burung Cimplong seperti yang dilakukan Sang Danding.
“Pergilah ke hutan dan tangkap burung Cimplong,” perintah janda kaya itu kepada anaknya.
“Tapi, Bu, aku takut ke hutan,” jawab anaknya dengan ragu.
“Jangan kalah dengan Danding! Anak miskin saja berani. Cepat pergi dan jangan kembali sebelum berhasil menangkap burung Cimplong,” perintah janda kaya dengan tegas.
Dengan rasa takut, anak itu pergi ke dalam hutan. Setelah lama mencari dan memanjat pohon-pohon besar, ia akhirnya berhasil menangkap seekor burung Cimplong dan membawanya pulang. Janda kaya itu segera memasak burung tersebut dengan bumbu garang asam dan menyuruh anaknya makan sebanyak-banyaknya, berharap menghasilkan emas yang banyak pula.
Setelah selesai makan, anaknya merasa ingin buang air besar. Dengan penuh harap, janda kaya menggelar kasur baru di lantai dan menyuruh anaknya buang hajat di atasnya. Namun, yang keluar bukanlah emas seperti yang diharapkan, melainkan kotoran biasa. Janda kaya itu merasa kecewa dan malu karena sudah terlanjur membanggakan diri kepada tetangga-tetangganya bahwa anaknya akan buang hajat emas.
Sebenarnya, Sang Danding tidak benar-benar buang hajat emas. Ia menjual burung Cimplong tersebut kepada seorang kolektor kaya dari luar kota yang mencari burung langka itu. Burung Cimplong dikenal sebagai spesies burung yang sangat langka dan memiliki nilai jual tinggi karena keindahan kicauannya dan bulunya yang unik.
Sang Danding sengaja menyebarkan cerita tentang buang hajat emas untuk menjaga populasi burung Cimplong agar tidak diburu secara berlebihan oleh penduduk desa. Jika terlalu banyak burung yang ditangkap, populasinya akan menurun drastis dan harga burung itu pun akan jatuh.
Dengan cerita bohongnya, Sang Danding berhasil melindungi burung Cimplong dan memastikan keuntungannya tetap tinggi. Pengetahuan Sang Danding tentang burung dan keunikan ekosistem hutan membuatnya mampu menggunakan strategi ini demi menjaga kelestarian burung Cimplong dan lingkungan sekitarnya.