Masih terkait topik sebelumnya, dan beberapa tulisan susulan Tanggapan Atas Komentar Pembela Pameran Artefek Nabi, Beberapa ‘Kejanggalan’ Pameran Artefak Rasulullah yang Katanya Asli, dan Mempertanyakan Klaim Abdul Manan Embong (alm) soal Artefak Rasulullah yang di Dijadikan ‘Hujjah’,
Kemudian ada komentar, yang saya rasa ini mewakili ribuan pola pikir masyarakat kita, itulah kenapa saya tulis lagi disini , dan untuk alasan lainnya adalah karena ini menghasilkan cuan dari Adsense—sama cuannya dengan pameran artefak nabi—, jadi biar saya dapat barokahnya nabi, saya tulis lagi sebagai artikel terakhir se-SEO Friendly mungkin. Lumayan.. ribuan orang dari berbagai daerah baca tulisan saya.
Komentar seperti ini muncul ,masih dalam WAG, begini komentarnya:
Estona endingnya sama pak.. hanya klaim sepihak dan pernyataan-pernyataan asumtif.
Ada nggak yg tabayyun dan memverifikasi langsung data dan sanad saat pameran kemarin ? Khususnya bagi penggugat.
Kalau sekedar membuat retorika, curiga, atau mengira-ngira, semua orang bisa.
Atau mungkin cuma baca-baca artikel, di internet, rangkuman AI dan semacamnya, lalu disimpulkan dan ditulis ulang.. itu juga lebih mudah.
Konsep kerjanya begini:
البينة على المدعي
Penggugat yang harus mendatangkan bukti.
…….
Sudah ada pernyataan dari seorang ahli kredibel pula, tapi dicurigai ini itu semacamnya.. kok lama-lama kayak liberalis penggugat hadits Bukhori Muslim 😁😁.
Intinya: Tak percaya monggo, menuduh jangan.
“Tak percaya monggo, menuduh jangan.”
Kalimat pada komentar ini terdengar bijak di permukaan, tetapi jika dikupas lebih dalam, justru mengandung logika bermasalah dan standar pembuktian yang timpang.
“Tak percaya monggo, menuduh jangan”
Kalimat ini seolah-olah ingin menetapkan netralitas, tetapi sebenarnya adalah tameng retoris untuk menutup kritik. Jika tidak percaya saja monggo, maka ekspresi keraguan—yang seringkali diwujudkan dalam bentuk kritik, investigasi, atau bahkan kecurigaan—seharusnya juga diterima.
Namun, di saat yang sama, pernyataan ini melarang menuduh tanpa memberikan definisi jelas tentang “menuduh”. Apakah mempertanyakan kredibilitas pameran itu termasuk menuduh? Jika demikian, maka ini adalah upaya membungkam diskusi kritis.
Padahal, kritik tidak sama dengan tuduhan. Kritik adalah instrumen penting dalam menegakkan kejelasan dan kebenaran, terutama dalam isu yang menyangkut klaim besar seperti keaslian artefak Rasulullah.
“Penggugat harus mendatangkan bukti”
Mengutip kaidah “البينة على المدعي” (bukti berada pada pengklaim), saya tahu pemilik komentar ini bukan lagi seolah-olah paham hukum dasar dan saya yakin memang paham, tetapi kemudian salah menerapkannya. Dalam konteks klaim keaslian artefak, siapa sebenarnya “penggugat”?.
Yang membuat klaim besar adalah pihak penyelenggara pameran: mereka yang menyatakan artefak tersebut asli dan terkait Rasulullah. Oleh karena itu, menurut prinsip yang sama, bukti harus datang dari mereka. Jika klaim mereka tidak didukung dengan data ilmiah yang valid, maka skeptisisme adalah respons yang wajar.
Menggunakan prinsip ini untuk membebankan beban pembuktian kepada pihak yang meragukan adalah cara licik untuk membelokkan diskusi. Jika seseorang menjual “kain kafan Nabi”, apakah kita harus membuktikan bahwa itu palsu, ataukah si penjual yang harus membuktikan klaimnya? Jawabannya jelas: beban bukti ada pada pengklaim.
Kalau kita telusuri, narasi seluruh berita tentang pameran artefak nabi itu merujuk pada satu orang, yaitu Abdul Manan Embong, saya menonton videonya (YT), meski cukup kesulitan memahaminya karena berbahasa melayu, dan narasinya serupa dengan pemberitaan yang adai di Indonesia. Sepertinya itu satu-satunya video selain video 1 short terkait. Kemudian ada video lain yang menampilkan pak Abdul Manan ini seperti sedang presentasi produk MLM REA Network.
“Ada ahli kredibel kok, tapi dicurigai ini-itu”
Pernyataan bahwa ada “ahli kredibel” yang mendukung keaslian artefak tidak otomatis menjadikan klaim tersebut sahih. Kredibilitas seorang ahli hanya relevan jika mereka memberikan bukti konkret yang dapat diverifikasi. Argumen Otoritas yang Kosong.
Namun, dalam kasus ini, tidak ada dokumentasi riset ilmiah yang diumumkan secara terbuka. Tidak ada hasil uji forensik, analisis karbon untuk menentukan usia artefak, atau dokumentasi historis yang melacak asal-usul benda tersebut hingga ke masa Nabi Muhammad. Jika semua ini absen, maka “ahli kredibel” hanya menjadi jargon untuk membungkam kritik tanpa substansi.
“Tabayyun di pameran untuk memverifikasi data”
Menghadiri pameran untuk “tabayyun” adalah hal yang absurd. Pameran bukanlah tempat riset ilmiah; itu adalah platform pemasaran dari Malaysia.
Jika pihak penyelenggara pameran serius dengan klaim mereka, mereka seharusnya melibatkan institusi riset independen, seperti usat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), untuk melakukan verifikasi.
Hingga saat itu terjadi, pameran hanya layak dilihat sebagai hiburan atau atraksi komersial, bukan sumber keilmuan.
“Semua orang bisa curiga atau mengira-ngira”
Benar bahwa semua orang bisa curiga. Tapi, bukankah itu inti dari diskusi kritis? Curiga, mengira-ngira, dan mempertanyakan adalah awal dari pencarian kebenaran. Jika kita berhenti mempertanyakan dan hanya menerima klaim secara pasif, maka kita membuka pintu untuk penyesatan informasi.
Kritik yang diajukan dalam artikel seperti di Jailangkung.com tidak sekadar “mengira-ngira”. Artikel tersebut menyajikan analisis yang didukung bukti logis, termasuk kejanggalan klaim keaslian artefak, kurangnya verifikasi ilmiah, dan kontradiksi narasi pihak penyelenggara. Menyebutnya sebagai “sekedar curiga” adalah penyederhanaan berlebihan lah boy..
“Kok lama-lama kayak liberalis penggugat hadits Bukhari Muslim”
Mengaitkan skeptisisme terhadap artefak dengan “liberalisme” atau “penggugat hadits Bukhari-Muslim” adalah taktik yang sengaja mengaburkan isu. Ini adalah serangan ad hominem, yang tidak ada relevansinya dengan diskusi soal artefak.
Mengkritisi klaim artefak tidak ada hubungannya dengan ideologi tertentu. Ini murni soal validitas ilmiah dan logis. Melempar label-label seperti “liberalis” hanya menunjukkan kelemahan argumen si penulis komentar. Lagipula tidak dose menjadi liberalis, dan tidak tentu juga anda yang paling benar.
Gusdur juga pernah dituduh liberal, ilmuan abad pertengahan yang bersumbangsih besar pada peradaban modern juga liberal. Maka kenapa liberalis jadi negatif? Liberal itu progresif, it’s sexy. Disaat anda terkungkung dengan pemikiran anti-liberalis, disaat yang sama banyak orang mengkaji hadist secara akademis. Memang produk kajiannya itu kadang melawan ‘kitab kuning’ dan tradisi kita sebagai masyarakat yang mewarisi feodalisme.
Jadi sebutan ‘liberalis’, ‘radikalis’ itu adalah cara lain untuk mengkafirkan-kafirkan, mirip lah dengan yang dilakukan oleh kelompok wahabi kata kelompok X. Serupa, tapi bunyinya beda.
….. terakhir
Jika klaim besar seperti keaslian artefak Rasulullah dibuat tanpa bukti, maka skeptisisme bukan hanya hak, melainkan kewajiban moral kita. Kritik terhadap klaim ini bukanlah “tuduhan”, melainkan upaya untuk melindungi kebenaran dari narasi yang tidak berdasar.
Komentar seperti yang di atas hanya mencoba menutupi kelemahan argumen dengan retorika dangkal dan standar bukti yang tidak konsisten. Kalau benar ada bukti ilmiah, mari tampilkan. Sampai saat itu terjadi, keraguan adalah respons yang paling rasional. Dan kalau anda tidak nyaman dengan keraguan orang lain, mungkin sudah waktunya anda memeriksa ulang keyakinan anda sendiri.
Aduh terlalu panjang.. Padahal saya cuma mau balas sesimpel begini di WAG:
Kalau ke pameran untuk tujuan tabayyun ya percuma, mereka semua hanya marketing yang inkompetensi dalam konteks artefak.
Betul, kalau sekedar membuat retorika, curiga, atau mengira-ngira, semua orang bisa. Pun asal-usul dari klaim keaslian artefak pun masih retorika, tapi karena anda mengatakan ‘Tak percaya monggo, menuduh jangan.’ Maka tulisan tersebut bukan untuk orang seperti anda.
Ya.. anggaplah kita semua hanya omon-omong, karena bobot dari sebuah ‘sekedar’ yang dimaksud itu syaratnya harus bukan orang ‘biasa’ dan tentu bukan seorang ahli-kredible sebab begitu kita mudah percaya maka akan abu-abu pada akhirnya, misalnya, “ada pernyataan dari seorang ahli kredibel”, berdasarkan berita yang dishare kemarin. Lagipula, kok lama-lama kayak korban narasi media juga.. Liberalis itu sexy, Apalagi Radikalisme.. Keduanya sangat perlu. Heehe..
Padahal, belum ditemukan satupun bukti riset ilmiah prihal keaslian, meskipun itu Ahli Konservasi dan Analisis Artefak, Ahli Sejarah Islam, Ahli Digitalisasi dan Teknologi Konservasi termasuk juga Peneliti Artefak di Museum Topkapi bahkan IRCICA dan TIMA. Kalau ditemukan bukti riset ilmiahnya saya mau baca.. karena kalau dicari di kitab fiqh pasti nggak ada. WKWK
Konsep kerjanya begini saja deh:
البينة على المدعي
Karena bukan konteks pengadilan maka coba diartikan “Pengklaim yang harus mendatangkan bukti”.
Kalau memang pengklaim minta bukti, maka pihak yang meragukan akan membuktikan harus membuktikan, tapi setelah ada bukti dari pengklaim, meski sementara yang meragukan sih sudah membuktikan toh dengan indikasi logis, argumen kritis, atau bukti kontradiktif yang kemudian disebut sebagai ‘sekedar’.
Ya sudah karena Intinya: percaya monggo, menuduh jangan.
Kalau dibalas di grup percuma, karena tujuan saya bukan debat di grup, tapi juga tujuannya—jujur saja—traffic website. xixixi