Pasal Karet UU ITE: Antara Kebebasan dan Kejahatan di Dunia Maya

Alvin Karunia By Alvin Karunia
4 Min Read
Pasal Karet UU ITE: Antara Kebebasan dan Kejahatan di Dunia Maya
Pasal Karet UU ITE: Antara Kebebasan dan Kejahatan di Dunia Maya

Dunia maya menjadi salah satu ruang yang semakin luas dan penting dalam kehidupan masyarakat modern. Di sana, orang-orang dapat berkomunikasi, bertransaksi, berbagi informasi, menyuarakan pendapat, hingga menciptakan karya. Namun, di balik manfaatnya, dunia maya juga menyimpan berbagai risiko dan ancaman, seperti penipuan, pencurian data, pornografi, radikalisme, hingga ujaran kebencian.

Untuk mengatur dan melindungi aktivitas di dunia maya, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024. UU ITE bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, perlindungan konsumen, serta pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik.

Namun, UU ITE juga menuai banyak kritik dan kontroversi, terutama terkait dengan salah satu pasalnya yang dianggap sebagai pasal karet, yaitu Pasal 27 ayat (3). Pasal ini mengatur tentang larangan mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Pelanggaran pasal ini dapat diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE sering dikritik karena memiliki pengertian yang multitafsir dan subjektif, sehingga dapat menimbulkan penyalahgunaan dan penafsiran yang berbeda-beda oleh penegak hukum. Pasal ini juga dianggap dapat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya, serta berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap orang-orang yang tidak bersalah atau tidak patut dihukum.

- Advertisement -

Banyak kasus yang menjerat para aktivis, jurnalis, akademisi, seniman, hingga tokoh publik dengan menggunakan pasal ini. Misalnya, kasus penangkapan Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, Jonru Ginting, hingga Denny Siregar, yang diduga melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media sosial. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa pasal ini dapat digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik atau pendapat yang tidak sejalan dengan penguasa atau pihak tertentu.

Di sisi lain, ada juga yang membela keberadaan pasal ini dengan alasan bahwa pasal ini diperlukan untuk melindungi hak dan martabat orang-orang yang menjadi korban penghinaan atau pencemaran nama baik di dunia maya. Pasal ini juga dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral bagi pengguna internet untuk tidak sembarangan menyebarkan informasi atau dokumen elektronik yang dapat merugikan orang lain. Pasal ini juga diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik.

Pemerintah sendiri menyatakan bahwa pasal ini tidak dapat dihapus, karena pasal ini dianggap berperan penting dalam melindungi transaksi elektronik, terutama di dunia maya. Pemerintah juga mengeluarkan pedoman implementasi atas pasal ini, yang berisi penjelasan tentang unsur-unsur, pengecualian, dan prosedur penegakan hukum terkait dengan pasal ini. Pedoman ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan keseragaman dalam penerapan pasal ini.

Namun, pedoman ini juga masih menuai kritik, karena dianggap tidak menyelesaikan masalah pokok dari pasal ini, yaitu ketidakjelasan dan ketidaktegasan dalam pengertian dan ruang lingkup penghinaan atau pencemaran nama baik. Pedoman ini juga dianggap tidak mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Pasal karet UU ITE menjadi salah satu isu yang penting dan aktual dalam konteks hukum dan masyarakat di Indonesia. Pasal ini menimbulkan dilema antara kebebasan dan kejahatan di dunia maya, yang membutuhkan keseimbangan dan kebijaksanaan dalam penegakan dan perlindungannya. Pasal ini juga menuntut adanya revisi dan perbaikan yang lebih komprehensif dan partisipatif, agar dapat menciptakan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum bagi seluruh warga negara. (Endang)

- Advertisement -
Share This Article