jlk – Dalam suasana yang penuh hikmat dan kebijaksanaan, Paus Fransiskus mengangkat Alkitab di hadapan jemaatnya.
Tidak sekadar sebagai simbol keagamaan, tetapi juga sebagai penghormatan bagi seorang tentara Ukraina yang tewas dalam perang melawan Rusia. Di tengah konflik yang mengguncang dunia, momen ini menjadi titik terang yang menggugah hati.
Paus berusia 87 tahun itu memandang Alkitab dengan mata lembut. Kata-kata suci yang terpampang di sana mengandung lebih dari sekadar pesan rohaniah.
Bagi pemuda bernama Olexandre, Alexander, 23 tahun, yang meninggal di Adviika, kota garis depan yang rusak parah di wilayah Donetsk, Ukraina timur, Alkitab adalah simbol penghormatan terakhir. Sebuah penghormatan yang tidak hanya untuknya, tetapi juga bagi ribuan korban konflik lainnya.
Namun, Paus tidak berhenti di situ. Ia mengangkat rosario prajurit itu, salinan Perjanjian Baru yang ditutupi kamuflase militer.
Dalam momen yang sarat makna ini, Paus mengajak kita merenung. Perang selalu menghancurkan, katanya. Kita harus memikirkannya dan berdoa. Kita harus menghentikan kegilaan perang.
Tidak hanya itu, Paus Fransiskus juga menyerukan agar Rusia menghentikan agresinya terlebih dahulu. Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, Paus berulang kali menyerukan perdamaian dan sering berdoa bagi orang-orang Ukraina yang disebutnya martir.
Namun, dalam wawancara bulan lalu, ia memicu kontroversi dengan mendesak Ukraina mengibarkan bendera putih dan bernegosiasi.
Mungkin sebagian orang merasa malu untuk melakukan negosiasi, tetapi Paus mengingatkan bahwa negosiasi adalah tindakan berani. Ketika kita melihat bahwa kita dikalahkan, kita harus memiliki keberanian untuk bernegosiasi.
Sebagai pembaca, kita pun diajak untuk merenung. Apakah kita juga memiliki keberanian untuk mengibarkan bendera putih dalam konflik kita sendiri?
Apakah kita berani bernegosiasi sebelum keadaan menjadi lebih buruk? Artikel ini bukan hanya tentang Paus Fransiskus dan tentara Ukraina, tetapi juga tentang kita semua. Kita semua memiliki peran dalam mencari perdamaian yang adil dan abadi.
Jadi, mari kita renungkan bersama. Di tengah kegelapan perang, apakah kita bisa menemukan cahaya penghormatan dan perdamaian?
Mungkin, seperti Paus Fransiskus, kita juga harus mengangkat Alkitab dan bendera putih. Kita harus berani, bijaksana, dan cerdas dalam menghadapi konflik. Kita harus menjadi penghormatan bagi mereka yang tewas, dan juga bagi masa depan yang lebih baik.