Sebuah kelompok yang menamakan diri Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat mendesak DPR dan MPR segera memakzulkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Mereka menuding Jokowi telah melakukan pelanggaran konstitusional, antara lain nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi atau MK dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Pada 9 Januari 2024, sejumlah tokoh dari Petisi 100 mendatangi kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan atau Menko Polhukam Mahfud MD untuk menyampaikan tuntutan mereka. Mereka juga melaporkan dugaan kecurangan dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.
Namun, apakah permintaan pemakzulan Jokowi ini memiliki dasar hukum yang kuat? Bagaimana proses pemakzulan presiden di Indonesia? Dan apa pandangan dari masing-masing paslon dalam kontestasi Pilpres 2024?
BBC News Indonesia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menggali informasi dari berbagai sumber, termasuk pakar hukum tata negara, pengamat politik, pihak Istana, dan perwakilan dari Petisi 100.
Apa syarat pemakzulan presiden?
Menurut Pasal 7A UUD 1945, presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan bahwa pemakzulan presiden harus melewati proses yang tidak sederhana, mulai dari penentuan alasan pemberhentian presiden, hingga proses panjang yang harus dilewati.
“Jadi secara substansi [alasan pemakzulan] bukan hal sederhana, dan secara proses lebih tidak sederhana lagi, karena harus ke DPR, MK, dan MPR,” kata Zainal saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (11/01).
Zainal menjelaskan, proses pemakzulan dimulai dari suatu penyelidikan yang dilakukan DPR, atau disebut hak angket, atas suatu tuduhan pelanggaran pidana yang dilakukan presiden.
Setelah panitia khusus DPR itu melakukan penyelidikan dan menemukan kesimpulannya, DPR kemudian mengeluarkan hak menyatakan pendapat yang menyebut bahwa presiden harus diberhentikan.
Pendapat ini kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diperiksa, apakah benar presiden melakukan pelanggaran atau sekadar pernyataan politik saja.
Pengajuan permintaan DPR ke MK ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan minimal dua per tiga jumlah anggota DPR dalam sidang paripurna.
Jika MK memutuskan untuk menolak maka perkara gugur. Sebaliknya, jika MK menerima maka pendapat ini diserahkan kembali ke DPR yang kemudian menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian ke MPR.
Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga per empat dari jumlah anggota.
“Jadi secara substansi bukan hal sederhana, secara proses lebih tidak sederhana lagi, karena harus matang di DPR, dikirim ke MK untuk memutuskan iya, baru ke MPR,” kata Zainal.
Apakah mungkin Jokowi dimakzulkan?
Merujuk pada sisi substansi dan proses pemakzulan, Zainal Arifin mengatakan terdapat beberapa prasyarat yang memungkinkan Jokowi dapat dilengserkan dari jabatannya atau tidak.
Pertama, adalah kemauan politik. “Partai-partai di DPR mau tidak mengkonstruksi pelanggaran seperti apa, lalu memulai proses dengan membentuk pansus dan hak angket,” kata Zainal.
Kedua adalah dukungan dari partai di parlemen, apakah jumlahnya memenuhi syarat untuk dikeluarkannya hak angket.
“Sebenarnya pelanggaran Pak Jokowi ini sudah cukup banyak. Apakah bisa dikualifikasikan ke arah sana? Bisa. Tapi apakah parpol mau melakukan itu, dari dulu sampai sekarang tidak.”
“Apalagi pemilu ini mungkin akan dua putaran, artinya konfigurasi politik bisa terbentuk baru di putaran kedua. Kalau dianggap Jokowi pro Paslon 02 maka belum tentu partai-partai di paslon 01 akan mendukung 03 atau sebaliknya, di putaran kedua.
Senada, peneliti politik BRIN Firman Noor melihat bahwa partai-partai parlemen kini masih mendukung pemerintahan Jokowi, sehingga kemungkinan bagi mereka untuk memulai proses pemakzulan sangat kecil.
“Selain itu parpol juga akan berhitung dampak bagi mereka di tengah konstelasi pemilu. Pemakzulan akan menciptakan situasi politik yang rawan dan tidak stabil, ditambah lagi membentuk pemerintahan baru akan menguras energi dan berpotensi memicu konflik,” kata Firman.
“Jadi sangat kecil kemungkinan terjadi pemakzulan. Ini hanya dinamika atau wacana publik saja,” katanya.
Selain itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari melihat waktu yang semakin mendekati pemilu pada 14 Februari 2024 juga menjadi pertimbangan apakah pemakzulan dibutuhkan dan diperlukan.
“Tapi kalau melanggar konstitusi hampir bisa dikatakan tidak ada pilihan lain ya memang ketentuan utama pemakzulan selalu memungkinkan,” ujar Feri.
Siapa yang mewacanakan pemakzulan Jokowi dan mengapa?
Permintaan pemakzulan Jokowi muncul dari sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat.
Salah satu anggotanya, Faizal Assegaf mengatakan bahwa parlemen yang mesti berperan menyuarakan hak dan kedaulatan politik rakyat justru “diperbudak oleh praktik kekuasaan Jokowi yang korup dan berwatak dinasti politik”.
Selain itu, Faizal juga menyinggung isu kecurangan dalam pilpres yang dia sebut kian meresahkan.
“Tujuan mencegah kejahatan politik cawe-cawe Jokowi dan keluarga intinya… Cara untuk menghentikan intervensi kekuasaan Jokowi dalam Pilpres adalah pemakzulan. Itu adalah pendapat politik yang sangat bergantung pada konsolidasi partai di parlemen,” kata Faizal.
Beberapa orang dalam Petisi 100 itu bertemu dan menyampaikan pandangannya dengan Menko Polhukam Mahfud MD.
“Mereka minta pemakzulan Pak Jokowi, minta pemilu tanpa Pak Jokowi,” kata Mahfud, Selasa (09/01).
“Saya bilang kalau urusan pemakzulan itu sudah didengar orang, mereka sampaikan di beberapa kesempatan, dan itu urusan parpol dan DPR, bukan Menko Polhukam,” kata Mahfud yang kini menjadi calon wakil presiden mendampingi Ganjar Pranowo.
Mahfud juga mengatakan bahwa pemakzulan Jokowi sebelum Pemilu 2024 juga adalah hal yang tak mungkin terjadi.
Bagaimana Reaksi Istana dan Paslon Pilpres?
Terkait permintaan pemakzulan Jokowi, pihak Istana telah memberikan tanggapan. Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, permintaan pemakzulan Jokowi adalah hak konstitusional setiap warga negara. Namun, ia menegaskan bahwa proses pemakzulan presiden bukanlah urusan Menko Polhukam, melainkan urusan DPR dan MPR.
Mahfud juga menambahkan bahwa pemakzulan presiden sebelum Pemilu 2024 sangat tidak mungkin terjadi. “Pemilu sudah kurang 30 hari, (pendakwaan) di tingkat DPR saja tidak bakal selesai untuk mencari sepertiga (anggota) DPR yang memakzulkan,” kata Mahfud.
Sementara itu, pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam kontestasi Pilpres 2024 juga memberikan pandangan mereka terkait wacana pemakzulan Jokowi. Sejauh ini, belum ada paslon yang secara terbuka mendukung wacana pemakzulan tersebut. Mereka lebih memilih untuk fokus pada persiapan kampanye dan strategi pemenangan dalam Pilpres 2024.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemakzulan presiden adalah proses yang rumit dan membutuhkan dukungan politik yang kuat dari DPR dan MPR. Meski permintaan pemakzulan Jokowi telah disampaikan oleh Petisi 100, namun kemungkinan pemakzulan tersebut terjadi sangat kecil.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya dukungan politik dari partai-partai di DPR, proses pemakzulan yang rumit dan memakan waktu, serta situasi politik yang dinamis menjelang Pemilu 2024.
Namun demikian, permintaan pemakzulan Jokowi ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik, di mana setiap warga negara memiliki hak untuk menyuarakan pendapat dan kritik mereka terhadap pemerintah.
Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang Anda butuhkan. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.