jlk – Di masa-masa yang gelap itu, bayangan kekejaman tentara Jepang melanda bumi, menciptakan bekas luka yang masih terasa hingga kini.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa perlu mengulik kisah kelam ini? Apakah relevansinya dengan zaman kita sekarang?
Mari saya ceritakan dengan gaya yang sederhana namun menggugah. Siapa tahu, dari sini kita bisa meraih hikmah yang berharga.
Perang Dunia II, panggung terbesar tragedi manusia, memunculkan gambaran kepiluan yang tak terlupakan. Rentetan konflik ini melibatkan hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia.
Mulai dari 1939 hingga 1945, dunia terpecah menjadi dua kubu besar: Blok Sekutu dan Blok Poros.
Di antara pohon-pohon ilalang sejarah, Jepang berdiri sebagai salah satu tokoh paling ambisius dan agresif.
Negara itu menggenggam cita-cita untuk menguasai Asia dan Pasifik, sambil mengangkat dirinya sebagai pionir di kawasan tersebut. Ambisi itu terperlihat jelas ketika Jepang, pada 8 Desember 1941, menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii.
Jejak kekejaman Jepang tak hanya terlihat dari serangan ke militer musuh, tapi juga dari cara mereka memperlakukan rakyat yang diduduki, termasuk Indonesia.
Meski mengibaratkan diri sebagai penyelamat dari cengkeraman Barat, tindakan Jepang justru menimbulkan luka yang tak berujung. Mereka menindas dengan tanam paksa, kerja paksa, pemerasan, hingga eksperimen biologi yang keji.
Sebuah bab kelam dalam sejarah terukir di Nanking, China. Di sana, ribuan jiwa tewas dalam genosida yang digelar tentara Jepang. Wanita dan anak-anak tak luput dari kekejaman, menjadi korban pemerkosaan dan pembantaian sadis.
Bahkan, kontes kekejaman digelar, di mana tentara Jepang bersaing melihat siapa yang bisa membunuh 100 orang lebih dulu dengan pedang.
Kebrutalan tentara Jepang tak hanya menyasar warga sipil, melainkan juga tawanan perang. Tawanan dari Blok Sekutu diperlakukan dengan kejam, disiksa, disengsarakan, hingga dibunuh tanpa belas kasihan.
Kisah pilu terukir di Jembatan Sungai Kwai, Thailand, yang dibangun dengan nyawa para tawanan perang sebagai taruhannya.
Kehadiran tentara Jepang dalam perang itu juga diwarnai oleh fanatisme yang mendalam.
Mereka rela berkorban dalam serangan bunuh diri atau yang dikenal dengan istilah kamikaze, menabrakkan pesawat atau kapal berisi bahan peledak ke musuh, menimbulkan kerusakan besar yang membuat Sekutu gemetar.
Namun, kemenangan abadi tak pernah bersinar bagi yang menginjak kebrutalan. Saat Hiroshima dan Nagasaki diterjang oleh bom atom, Jepang terhempas dalam kekalutan.
Ribuan nyawa melayang, kota-kota hancur, dan pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Hari itu juga menjadi tonggak penting bagi Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Jepang.
Kisah kekejaman itu, meski terlalu kelam untuk disaksikan, mengandung banyak pelajaran. Kita harus menghargai jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk meraih kemerdekaan.
Kita juga harus menjaga perdamaian dan persatuan, belajar dari masa lalu agar tak mengulangi kesalahan yang menyebabkan penderitaan dan kematian. Kita harus menyongsong masa depan dengan penuh kasih sayang dan penghormatan, melintasi batas ras, agama, dan golongan.