Bayangkan, kamu terjebak dalam sengketa keluarga tentang warisan, atau mungkin dituduh melakukan perbuatan tercela tanpa ada bukti yang jelas. Semua bukti material tidak ada, saksi pun nihil.
Di tengah kebuntuan, seseorang tiba-tiba menyarankan, “Yuk, sumpah pocong aja.” Begitu saja, semua ketegangan dan harapan akan keadilan langsung dilemparkan ke tangan takhayul, ritual kuno yang lebih menakutkan daripada masuk ruang sidang.
Sumpah pocong bukan sekadar ritual spiritual. Ini adalah cerminan dari masyarakat yang masih terjebak dalam ketakutan kuno, yang percaya bahwa hukuman ilahi bisa dipicu oleh sehelai kain kafan dan doa-doa mistis.
Sumpah ini sering dipandang sebagai “solusi terakhir” ketika semua cara konvensional gagal. Namun, kenyataannya, ini adalah alat untuk melanggengkan status quo—mempertahankan pengaruh para pemuka agama atau tokoh adat yang menjadikan ketakutan sebagai senjata.
Logika dalam Balutan Kafan
Dari sudut pandang logika, sumpah pocong adalah absurditas murni. Bayangkan kita hidup di abad ke-21, di mana bukti forensik, data digital, dan argumen hukum seharusnya menjadi landasan kebenaran.
Namun, di beberapa tempat di Indonesia, kebenaran justru diukur melalui kain kafan dan ritual mistis. Apa hubungan antara kain kafan dan kebenaran? Itu adalah pertanyaan yang menohok inti dari ritual ini.
Logika di balik sumpah pocong adalah bentuk falasi ad baculum—menggunakan ancaman hukuman untuk memaksa seseorang mengakui kebenaran. Dengan kata lain, ritual ini mengandalkan manipulasi ketakutan, bukan bukti atau penalaran rasional.
Jika seseorang bersumpah dan ternyata berbohong, ancamannya adalah kutukan ilahi. Tapi dari mana kita tahu kalau hukuman itu benar-benar terjadi? Bukti empiris tentang akibat mistis ini nol besar. Yang tersisa hanyalah rasa takut dan spekulasi.
Selain itu, sumpah pocong sering digunakan dalam situasi di mana bukti konvensional tidak ada. Ini menjadikannya jalan pintas yang lebih bergantung pada keyakinan spiritual daripada investigasi rasional.
Logika tidak bekerja di sini; yang bekerja hanyalah kepercayaan bahwa dunia mistis dapat mengatur jalannya keadilan. Padahal, keadilan seharusnya digerakkan oleh bukti, bukan oleh ritual penuh horor.
Kebenaran yang Dikunci dalam Mistisisme
Filsafat kebenaran yang seharusnya berbasis pada bukti dan argumen rasional menjadi buram di hadapan sumpah pocong.
Dalam epistemologi—studi tentang bagaimana kita mengetahui sesuatu—kebenaran dituntut untuk didasarkan pada bukti yang dapat diverifikasi.
Namun, sumpah pocong justru mengangkat kebenaran ke ranah supranatural, di mana logika dan bukti tidak lagi relevan.
Kebenaran, dalam konteks sumpah pocong, menjadi sangat relatif. Itu semua tergantung pada keyakinan bahwa seseorang yang melanggar sumpah akan dihukum oleh kekuatan gaib.
Namun, siapa yang menentukan kapan dan bagaimana hukuman itu akan terjadi? Apa mekanisme pasti dari “hukuman ilahi” ini? Pertanyaan-pertanyaan ini tetap tak terjawab dan terus dibiarkan menggantung tanpa jawaban yang jelas.
Filosofisnya, sumpah pocong mempertahankan etika deontologis—yakni nilai moral dari tindakan sumpah itu sendiri. Ritual ini memberikan bobot pada sumpah sebagai tindakan suci yang tidak bisa diganggu gugat.
Tetapi, di sisi lain, ritual ini juga mengabaikan pentingnya utilitarianisme, yang lebih peduli pada hasil nyata daripada nilai intrinsik dari sebuah tindakan.
Kebenaran yang seharusnya bisa diukur dengan bukti akhirnya ditutup rapat-rapat oleh ketakutan mistis, menjadikan sumpah pocong sebagai alat yang lebih mendukung status quo daripada mengejar kebenaran sejati.
Tidak Ada Bukti Empiris
Kalau kita bicara sains, sumpah pocong adalah tantangan yang konyol bagi pendekatan empiris.
Sains bekerja berdasarkan observasi, eksperimen, dan pengulangan. Tapi apa yang bisa kita observasi dari sumpah pocong? Ritual ini hanya melibatkan simbolisme mistis tanpa mekanisme ilmiah yang jelas.
Kain kafan, doa-doa, dan ancaman kutukan bukanlah sesuatu yang bisa diuji di laboratorium. Dalam dunia sains, klaim seperti hukuman ilahi yang instan karena melanggar sumpah pocong adalah klaim tanpa dasar yang tak bisa dibuktikan.
Yang bisa diukur mungkin hanya efek psikologis dari ritual ini. Orang yang melakukan sumpah pocong mungkin mengalami stres, cemas, atau rasa bersalah.
Ini lebih pada tekanan sosial yang dibangun melalui keyakinan mistis, daripada bukti nyata bahwa ada kekuatan gaib yang benar-benar bekerja. Secara ilmiah, efek ini lebih berkaitan dengan psikologi ketakutan daripada efek supranatural yang nyata.
Ilmu pengetahuan menuntut sesuatu yang dapat diverifikasi, sesuatu yang dapat diuji kembali. Namun, dalam sumpah pocong, tidak ada aspek yang bisa diuji secara ilmiah. Ini hanya soal kepercayaan, bukan kebenaran yang bisa diukur.
Hukum yang Terkubur Bersama Pocong
Yang lebih memprihatinkan adalah ketika sumpah pocong digunakan sebagai bagian dari proses hukum. Di dalam sistem hukum modern, keputusan seharusnya didasarkan pada bukti yang kuat dan argumen yang jelas.
Namun, di beberapa tempat, sumpah pocong masih dijadikan alat penentu kebenaran dalam sengketa perdata. Ketika bukti fisik tidak ada, beberapa orang beralih ke ritual ini untuk mendapatkan keadilan.
Absurdnya, ini bukan solusi, melainkan kegagalan total dari sistem hukum kita. Sumpah pocong adalah bentuk keputusasaan yang terjadi ketika sistem hukum gagal menyediakan jawaban yang adil.
Alih-alih mengandalkan metode investigasi yang lebih canggih, kita justru menyerahkan nasib pada kain kafan dan ancaman kutukan. Apa ini cara modern dalam menegakkan keadilan? Jelas tidak.
Jika kita ingin maju sebagai sebuah bangsa, hukum kita harus didasarkan pada bukti, bukan pada ketakutan yang dipaksakan melalui ritual mistis.
Hukum harus bekerja dengan dasar rasionalitas dan transparansi, bukan dengan manipulasi psikologis yang terbungkus dalam kain kafan.
Kebenaran di Era Modern: Ritual atau Realitas?
Sumpah pocong mungkin masih memiliki tempat dalam budaya dan tradisi lokal. Tapi sebagai alat untuk mencari kebenaran, ritual ini tidak bisa lagi dipertahankan di era modern.
Tradisi ini bukan hanya tidak relevan, tetapi juga merusak upaya kita untuk membangun sistem hukum yang adil dan berbasis bukti.
Dalam masyarakat yang ingin bergerak maju, kita harus berani melepaskan diri dari kepercayaan kuno yang lebih menakutkan daripada bermanfaat.
Kebenaran sejati tidak bisa dicapai melalui ketakutan, tetapi melalui pengetahuan yang didukung oleh bukti.
Sumpah pocong, dengan semua mistisisme dan horornya, mungkin masih menjadi bagian dari cerita rakyat kita. Tapi di dunia nyata, di mana keadilan seharusnya bekerja atas dasar fakta, ritual ini tidak lebih dari sekadar drama takhayul.
Jadi, jika kita masih mengandalkan sumpah pocong untuk menegakkan kebenaran, mungkin saatnya kita bertanya:
Apakah kita benar-benar siap untuk maju, atau kita hanya terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu?