Tanah dan Tambang: Antara Hak dan Keadilan

Alvin Karunia By Alvin Karunia
7 Min Read
digger, excavator, engine
Photo by Pexels on Pixabay

Sengketa pertanahan dalam wilayah pertambangan seringkali menimbulkan konflik antara berbagai pihak, baik pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat. Bagaimana cara menyelesaikan sengketa tersebut dengan mengedepankan asas kepastian hukum, keseimbangan kepentingan, dan perlindungan hak asasi manusia?

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya mineral dan batubara. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2020 terdapat 8.495 izin usaha pertambangan (IUP) yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Kegiatan usaha pertambangan ini tentunya memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional, baik dari segi pendapatan negara, investasi, lapangan kerja, maupun pembangunan daerah.

Namun, di balik manfaatnya, usaha pertambangan juga menimbulkan berbagai permasalahan, salah satunya adalah sengketa pertanahan. Sengketa pertanahan dalam wilayah pertambangan adalah ketidaksesuaian antara hak atas tanah dengan hak atas wilayah pertambangan. Hak atas tanah adalah hak yang melekat pada seseorang atau badan hukum untuk menguasai, memanfaatkan, dan/atau memiliki sebidang tanah. Hak atas wilayah pertambangan adalah hak yang diberikan oleh pemerintah kepada pihak tertentu untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan di suatu wilayah tertentu.

Sengketa pertanahan dalam wilayah pertambangan dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain:

- Advertisement -
  • Kurangnya koordinasi dan sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penetapan wilayah pertambangan dan pemberian izin usaha pertambangan.
  • Masih banyaknya tanah yang belum terdaftar atau bersertifikat, sehingga menimbulkan tumpang tindih klaim hak atas tanah antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.
  • Belum disadarinya kedudukan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah yang kuat dan sah, sehingga seringkali diabaikan atau dilanggar oleh pihak-pihak yang ingin melakukan usaha pertambangan.
  • Adanya proses pewarisan tanah yang tidak tuntas, sehingga menimbulkan perselisihan antara ahli waris atau pihak-pihak yang merasa berhak atas tanah tersebut.
  • Adanya ulah mafia tanah yang memanfaatkan situasi untuk mengambil keuntungan dengan cara memalsukan dokumen, mengintimidasi, atau menyuap pihak-pihak terkait.
  • Kurang cermatnya sebagian kecil notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dalam menjalankan tugasnya, sehingga menimbulkan kesalahan atau kecacatan dalam pembuatan akta-akta tanah.

Sengketa pertanahan dalam wilayah pertambangan dapat berdampak negatif bagi semua pihak yang terlibat, baik secara hukum, ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Beberapa dampak negatif yang dapat terjadi antara lain:

  • Terhambatnya proses perizinan dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan, sehingga mengganggu kelancaran bisnis dan mengurangi pendapatan negara.
  • Terjadinya konflik antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah, yang dapat berujung pada tindakan kekerasan, pengrusakan, atau penutupan akses jalan menuju lokasi pertambangan.
  • Terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, seperti hak atas tanah, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas keadilan, dan hak atas kesejahteraan.
  • Terjadinya kerusakan lingkungan, seperti pencemaran air, tanah, dan udara, penggundulan hutan, erosi tanah, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Untuk mengatasi sengketa pertanahan dalam wilayah pertambangan, diperlukan upaya penyelesaian yang adil, cepat, dan efektif. Upaya penyelesaian tersebut dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme, baik yang bersifat adjudikasi maupun non-adjudikasi. Adjudikasi adalah penyelesaian sengketa dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan atau lembaga arbitrase. Non-adjudikasi adalah penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah, mediasi, konsiliasi, negosiasi, atau lembaga adat.

Berikut adalah beberapa mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan dalam wilayah pertambangan yang dapat dipilih oleh para pihak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan:

  • Pengadilan. Pengadilan adalah lembaga negara yang berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang diajukan oleh para pihak. Pengadilan yang dapat menangani sengketa pertanahan dalam wilayah pertambangan adalah pengadilan umum, pengadilan tata usaha negara, atau pengadilan lingkungan hidup. Pengadilan umum dapat menangani sengketa perdata antara masyarakat, perusahaan, atau pemerintah yang berkaitan dengan hak atas tanah. Pengadilan tata usaha negara dapat menangani sengketa administrasi antara masyarakat atau perusahaan dengan pemerintah yang berkaitan dengan penetapan wilayah pertambangan atau pemberian izin usaha pertambangan. Pengadilan lingkungan hidup dapat menangani sengketa lingkungan hidup antara masyarakat, perusahaan, atau pemerintah yang berkaitan dengan dampak lingkungan dari kegiatan usaha pertambangan.
  • Arbitrase. Arbitrase adalah lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang diajukan oleh para pihak berdasarkan perjanjian tertulis. Arbitrase yang dapat menangani sengketa pertanahan dalam wilayah pertambangan adalah arbitrase dalam negeri, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau Lembaga Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertambangan (LAPSPI). Arbitrase dapat menangani sengketa perdata antara masyarakat, perusahaan, atau pemerintah yang berkaitan dengan hak atas tanah atau wilayah pertambangan, asalkan para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan tidak melibatkan kepentingan umum.
  • ADR. ADR adalah singkatan dari Alternative Dispute Resolution, yaitu metode penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dengan cara musyawarah, mediasi, konsiliasi, atau negosiasi. ADR dapat menangani sengketa pertanahan dalam wilayah pertambangan yang bersifat sederhana, ringan, dan tidak melibatkan kepentingan umum. ADR dapat dilakukan oleh para pihak secara mandiri atau dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan profesional, seperti mediator, konsiliator, atau negosiator. ADR dapat menyelesaikan sengketa dengan cara mencari solusi yang saling menguntungkan, menghormati hak dan kewajiban para pihak, serta menjaga hubungan baik antara para pihak.
  • Lembaga adat. Lembaga adat adalah lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa pertanahan dalam wilayah pertambangan yang melibatkan masyarakat adat. Lembaga adat dapat menangani sengketa yang berkaitan dengan hak ulayat, hak adat, atau hak-hak lain yang diakui dan dihormati oleh masyarakat adat. Lembaga adat dapat menyelesaikan sengketa dengan cara mengikuti adat istiadat, norma-norma, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat adat, serta mengedepankan asas kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kesepakatan bersama.

Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang Anda butuhkan. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.

Share This Article