Suasana haru menyelimuti Bandara Soekarno-Hatta pada Senin (3/1/2024) malam. Sebuah peti jenazah berisi jasad Rina, seorang WNI yang tewas ditikam di Inggris, tiba di tanah air setelah melalui proses panjang. Keluarga, kerabat, dan teman-teman Rina menangis tersedu-sedu saat menyambut kedatangan jenazah.
Rina adalah salah satu dari ribuan WNI yang menjadi korban kejahatan di luar negeri. Menurut data Kementerian Luar Negeri, sejak 2014 hingga 2023, ada 218.313 kasus WNI yang diselesaikan oleh pemerintah Indonesia, mulai dari hukuman mati, repatriasi, pembebasan penyanderaan, hingga pemenuhan hak-hak finansial.
Kasus Rina menimbulkan pertanyaan, siapa yang berhak mengadili pelaku pembunuhan tersebut? Apakah Indonesia bisa ikut campur dalam proses hukum di negara lain? Bagaimana perlindungan hukum bagi WNI yang menjadi korban kejahatan di luar negeri?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu memahami konsep yurisdiksi dalam hukum internasional. Yurisdiksi adalah kewenangan hukum suatu negara terhadap orang, benda, atau peristiwa hukum yang terjadi di wilayahnya atau yang berkaitan dengan warga negaranya.
Ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hukum internasional, antara lain yurisdiksi teritorial, yurisdiksi nasionalitas, yurisdiksi universal, yurisdiksi perlindungan, dan yurisdiksi pasif. Prinsip-prinsip ini menentukan negara mana yang memiliki kewenangan untuk mengadili suatu perkara yang melibatkan unsur asing.
Dalam kasus Rina, ada tiga kemungkinan negara yang memiliki yurisdiksi, yaitu:
- Inggris, berdasarkan prinsip yurisdiksi teritorial, yaitu kewenangan negara untuk mengadili perkara yang terjadi di wilayahnya. Inggris memiliki yurisdiksi terkuat karena kejahatan itu mengganggu ketertiban sosialnya dan lebih mudah mengumpulkan bukti dan saksi di sana.
- Indonesia, berdasarkan prinsip yurisdiksi nasionalitas pasif, yaitu kewenangan negara untuk mengadili perkara yang menimpa warga negaranya di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi karena Rina adalah WNI yang menjadi korban kejahatan orang asing di luar negeri.
- Negara asal pelaku, berdasarkan prinsip yurisdiksi nasionalitas aktif, yaitu kewenangan negara untuk mengadili perkara yang dilakukan oleh warga negaranya di luar negeri. Jika pelaku adalah WNA, maka negara asalnya memiliki yurisdiksi karena pelaku melanggar hukum negaranya sendiri.
Namun, dalam praktiknya, tidak semua negara menerapkan prinsip-prinsip yurisdiksi tersebut secara konsisten. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penerapan yurisdiksi, seperti hubungan diplomatik, kerjasama hukum, kepentingan nasional, dan hak asasi manusia.
Salah satu contoh kasus yang menunjukkan kompleksitas penerapan yurisdiksi adalah kasus Merry Utami, seorang WNI yang divonis hukuman mati di Malaysia karena terlibat kasus narkoba. Merry mengajukan permohonan grasi kepada Raja Malaysia, namun ditolak. Pemerintah Indonesia berupaya melakukan diplomasi untuk menyelamatkan Merry, namun belum berhasil.
Menurut pakar hukum internasional, Sefriani, Indonesia tidak bisa mengintervensi proses hukum di Malaysia karena itu melanggar prinsip kedaulatan negara. Namun, Indonesia bisa memberikan bantuan hukum kepada Merry, seperti menyediakan pengacara, konsul, dan perlindungan konsuler.
Perlindungan konsuler adalah hak yang dimiliki oleh WNI yang berada di luar negeri untuk mendapatkan bantuan dari perwakilan diplomatik Indonesia di negara tersebut. Bantuan ini meliputi memberikan informasi, konsultasi, kunjungan, dan fasilitas komunikasi.
Menurut UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, perlindungan konsuler merupakan salah satu fungsi utama Kementerian Luar Negeri. Kementerian Luar Negeri juga memiliki Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia yang bertugas menangani kasus-kasus WNI di luar negeri.
Selain itu, Indonesia juga memiliki beberapa perjanjian kerjasama hukum dengan negara-negara lain, seperti perjanjian ekstradisi, perjanjian bantuan hukum timbal balik, dan perjanjian transfer narapidana. Perjanjian-perjanjian ini bertujuan untuk mempermudah proses hukum lintas negara dan melindungi hak-hak WNI yang terlibat perkara.
Namun, tidak semua negara memiliki perjanjian kerjasama hukum dengan Indonesia. Hal ini menyulitkan pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum kepada WNI yang berada di negara-negara tersebut. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan kerjasama hukum dengan negara-negara lain, khususnya yang menjadi tujuan utama WNI.
Selain pemerintah, masyarakat sipil juga berperan dalam memberikan perlindungan hukum kepada WNI di luar negeri. Beberapa organisasi non-pemerintah, seperti Migrant Care, LBH Jakarta, dan KontraS, aktif memberikan advokasi, pendampingan, dan bantuan hukum kepada WNI yang menjadi korban kejahatan di luar negeri.
Salah satu contoh kasus yang berhasil diselesaikan oleh kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sipil adalah kasus Siti Zaenab, seorang TKW yang divonis hukuman mati di Arab Saudi karena membunuh majikannya. Setelah melalui proses hukum yang panjang dan rumit, Siti akhirnya dibebaskan dari hukuman mati pada 2019 setelah mendapat pengampunan dari keluarga korban.
Kasus-kasus WNI yang menjadi korban kejahatan di luar negeri menunjukkan betapa pentingnya perlindungan hukum bagi WNI yang berada di luar negeri. Perlindungan hukum tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil dan WNI itu sendiri.
Untuk itu, WNI yang berada di luar negeri harus mematuhi hukum dan norma yang berlaku di negara tersebut, menghormati budaya dan adat istiadat setempat, dan menjaga nama baik bangsa Indonesia. Jika terjadi masalah hukum, WNI harus segera menghubungi perwakilan diplomatik Indonesia di negara tersebut dan meminta bantuan hukum yang sesuai.
Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa WNI yang berada di luar negeri dapat hidup dengan aman, nyaman, dan sejahtera, serta dapat memberikan kontribusi positif bagi Indonesia dan dunia.