Kisanak, Properti adalah salah satu sektor yang paling sensitif terhadap kondisi perekonomian, politik, dan sosial.
Ketika ada krisis, properti biasanya menjadi korban pertama yang terkena dampaknya. Namun, tidak semua subsektor properti memiliki tingkat kerentanan yang sama.
Ada beberapa yang lebih rapuh daripada yang lain. Lalu, sektor properti mana yang paling rapuh? Mari kita simak ulasan berikut ini.
Perkantoran: Sektor yang Paling Terpukul
Salah satu subsektor properti yang paling rapuh adalah perkantoran. Alasannya, sektor ini sangat bergantung pada aktivitas bisnis dan investasi.
Ketika ekonomi melemah, permintaan akan ruang kantor menurun, baik dari penyewa maupun pembeli.
Akibatnya, tingkat hunian dan harga sewa kantor menurun, sementara stok kantor meningkat.
Hal ini terlihat dari data Kementerian Investasi/BKPM yang menunjukkan bahwa sektor perkantoran adalah satu-satunya subsektor properti yang mengalami pertumbuhan stagnan pada kuartal III-2022.
Padahal, sektor properti secara keseluruhan mengalami peningkatan investasi sebesar 9 persen dari Januari hingga September 2022.
Sektor perkantoran juga menghadapi tantangan dari perubahan perilaku konsumen akibat pandemi Covid-19.
Banyak perusahaan yang beralih ke sistem kerja jarak jauh atau hybrid, sehingga mengurangi kebutuhan akan ruang kantor.
Selain itu, perkembangan teknologi digital juga memungkinkan para pekerja untuk bekerja di mana saja, termasuk di rumah, kafe, atau coworking space.
Ritel: Sektor yang Paling Terancam
Subsektor properti lain yang cukup rapuh adalah ritel. Sektor ini sangat tergantung pada daya beli masyarakat dan arus kunjungan pengunjung.
Ketika ada krisis, konsumen cenderung mengurangi pengeluaran untuk barang dan jasa yang tidak esensial, seperti belanja di mal atau pusat perbelanjaan.
Akibatnya, omzet dan pendapatan para pelaku usaha ritel menurun, sehingga berdampak pada kemampuan mereka untuk membayar sewa.
Sektor ritel juga mengalami persaingan ketat dari e-commerce atau perdagangan elektronik. Dengan kemudahan dan kenyamanan berbelanja secara online, banyak konsumen yang beralih ke platform digital untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Hal ini terlihat dari data Kementerian Perdagangan yang menunjukkan bahwa nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai Rp 233 triliun pada 2022, naik 65 persen dari tahun sebelumnya.
Meskipun sektor ritel diprediksi akan rebound perlahan pada 2022, dengan capaian suara terbanyak sebesar 57 persen dari total responden survei Knight Frank Indonesia, namun sektor ini masih harus beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen dan tren pasar.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengintegrasikan konsep online-to-offline (O2O) atau offline-to-online (O2O), yaitu menggabungkan pengalaman belanja fisik dan digital.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sektor properti mana yang paling rapuh adalah perkantoran dan ritel.
Kedua sektor ini sangat terpengaruh oleh kondisi perekonomian, politik, dan sosial, serta menghadapi tantangan dari perubahan perilaku konsumen dan perkembangan teknologi digital.
Oleh karena itu, para pelaku industri properti harus mampu berinovasi dan bertransformasi untuk menghadapi persaingan dan mengambil peluang di masa depan.
Demikian Kisanak.