Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) adalah hal yang sering terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara yang mengalami konflik bersenjata, ketidakstabilan politik, atau penindasan terhadap kelompok tertentu. Namun, tidak semua pelanggaran HAM memiliki tingkat keparahan yang sama. Ada yang disebut sebagai pelanggaran HAM berat, yang merupakan bentuk pelanggaran HAM yang paling serius dan menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi korban dan masyarakat.
Lalu, apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat? Mengapa Indonesia hanya mengatur dua jenis pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, dalam UU 26/2000 (Pengadilan HAM)? Sedangkan dalam Statuta Roma, ada empat jenis pelanggaran HAM berat. Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengacu pada sumber hukum nasional dan internasional, serta contoh kasus yang terjadi di Indonesia.
Pengertian HAM dan Pelanggaran HAM
Sebelum menjawab pertanyaan utama tentang apa itu pelanggaran HAM berat, ada baiknya kita terlebih dahulu memahami apa itu HAM. Menurut Pusat Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, HAM adalah “hak-hak yang melekat pada diri kita dan tanpa itu kita tidak dapat hidup sebagai manusia”.
Soedjono Dirdjosisworo mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada setiap manusia sejak lahir, yang tidak dapat dibatasi, dikurangi, atau dihapuskan oleh siapa pun karena merupakan nilai dan martabat manusia dari setiap individu.
Secara yuridis, berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 26/2000:
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada kodrat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum merampas, mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mendapat atau dikhawatirkan tidak dapat mendapat penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan hukum yang berlaku.
Pelanggaran HAM dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pelanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM biasa adalah pelanggaran HAM yang tidak memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berat, seperti diskriminasi, penyiksaan ringan, penahanan sewenang-wenang, dan sebagainya. Pelanggaran HAM biasa dapat dituntut melalui mekanisme hukum pidana umum, perdata, atau administrasi.
Pengertian Pelanggaran HAM Berat
Menjawab pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat, pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran HAM sebagaimana dimaksud dalam UU 26/2000 yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Jenis-Jenis Pelanggaran HAM Berat
Seperti dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat, di Indonesia bentuk-bentuk pelanggaran HAM berat meliputi:
Kejahatan genosida, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
membunuh anggota-anggota kelompok;
menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
menciptakan kondisi-kondisi kehidupan yang akan menyebabkan pemusnahan fisik baik seluruhnya maupun sebagian;
mengambil tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok; atau
memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok tertentu ke kelompok lain
Kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:[7]
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas hukum internasional yang pokok;
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pemerkosaan, kastrasi paksa atau sterilisasi atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasarkan atas identitas politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
Romli Atmasasmita berpendapat bahwa pelanggaran HAM berat bersifat sistematis dan meluas. Kedua kata ini merupakan kata kunci yang melekat dan mutlak harus ada dalam setiap perbuatan pelanggaran HAM berat, terutama berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Unsur sistematis dan meluas merupakan faktor penting dan signifikan yang membedakan pelanggaran HAM berat dengan tindak pidana biasa menurut KUHP atau peraturan perundang-undangan pidana lainnya.[8]
Dalam Statuta Roma, sistematis dan meluas disebut sebagai serangan yang meluas dan sistematik, di mana serangan tersebut ditujukan terhadap penduduk sipil.
Jadi, untuk menjawab apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat, pelanggaran HAM berat adalah setiap perbuatan pelanggaran HAM, termasuk kejahatan genosida dan/atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang memenuhi unsur-unsur yang telah kami jelaskan di atas.
Contoh-Contoh Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Salah satu contoh pelanggaran HAM berat di Indonesia adalah kasus Abilio Jose Osorio Soares yang dinyatakan telah melakukan pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan terhadap warga sipil pro-kemerdekaan di provinsi TK. I Timor Leste sebelum dilaksanakannya jajak pendapat untuk menentukan nasib akhir rakyat Timor Leste di Dilli, yang kasusnya diputus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 45 PK/Pid/Ham Ad Hoc/2004.[9] Dalam kasus ini, di tingkat pengadilan pertama, banding, dan kasasi, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (hal. 531-532). Namun, Majelis Hakim di tingkat Peninjauan Kembali kemudian menyatakan bahwa ia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tersebut, dan ia dibebaskan dari segala tuntutan (hal. 557-558).