Kejahatan genosida adalah salah satu kejahatan paling mengerikan dalam sejarah kemanusiaan. Namun, tidak mudah untuk menentukan apakah suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai genosida atau tidak. Artikel ini akan membahas definisi, unsur, dan contoh genosida dalam konteks hukum internasional.
Genosida: Pembantaian Berdasarkan Identitas Kelompok
Kata genosida pertama kali diperkenalkan oleh seorang akademisi Polandia-Yahudi bernama Raphael Lemkin. Dalam tulisannya, Raphael Lemkin mengatakan bahwa:
Kejahatan genosida melibatkan berbagai macam tindakan, tidak hanya perampasan nyawa tetapi juga pencegahan kehidupan (aborsi, sterilisasi) dan juga alat-alat yang sangat membahayakan kehidupan dan kesehatan (pemisahan keluarga secara sengaja untuk tujuan depopulasi dan sebagainya) … Tindakan-tindakan tersebut ditujukan terhadap kelompok-kelompok, sebagai suatu kesatuan, dan individu-individu dipilih untuk dimusnahkan hanya karena mereka termasuk dalam kelompok-kelompok tersebut.
Secara etimologis, istilah genosida berasal dari bahasa Yunani “geno” yang berarti ras, dan bahasa Latin “cidium” yang berarti membunuh. Jadi secara harfiah, genosida didefinisikan sebagai pembunuhan ras atau pemusnahan ras.
Genosida, lalu, adalah kejahatan yang menyangkal eksistensi suatu kelompok orang karena alasan ras, etnis, agama, atau nasional. Elemen internasional dari kejahatan ini adalah “niat khusus” (dolus specialis) dari pelaku untuk menghancurkan empat kelompok sasaran yang dilindungi, yaitu bangsa, etnis, ras, dan agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Konvensi Genosida 1948 dan Pasal 6 Statuta Roma 1998:
Genosida berarti salah satu tindakan berikut yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama, sebagai berikut:
Membunuh anggota kelompok;
Menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat kepada anggota kelompok;
Secara sengaja menciptakan kondisi-kondisi kehidupan yang ditujukan untuk mengakibatkan pemusnahan fisik, baik seluruhnya maupun sebagian;
Mengambil tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok;
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tersebut ke kelompok lain.
Selanjutnya, Pasal 1 Konvensi Genosida 1948 juga menjelaskan bahwa genosida dilarang untuk dilakukan baik dalam masa damai maupun dalam masa perang karena merupakan kejahatan di bawah hukum internasional, sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:
Para Pihak Kontrak mengkonfirmasi bahwa genosida, baik dilakukan dalam masa damai atau dalam masa perang, adalah kejahatan di bawah hukum internasional yang mereka berjanji untuk mencegah dan menghukum.
Definisi genosida dalam dua instrumen internasional di atas juga telah diadopsi dalam hukum nasional di Indonesia. Pasal 8 UU Pengadilan HAM menjelaskan bahwa kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan yang dilakukan dengan maksud untuk memusnahkan atau membasmi seluruh atau sebagian suatu kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
menciptakan kondisi-kondisi kehidupan yang akan mengakibatkan pemusnahan fisik, baik seluruhnya maupun sebagian;
Unsur-Unsur Genosida: Tindakan dan Niat
Untuk menganalisis apakah tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya di Myanmar termasuk genosida atau tidak, kita perlu mengamati dua hal, yaitu actus reus (perbuatan bersalah) dan mens rea (niat bersalah) dalam perbuatan tersebut.
Pertama, actus reus genosida adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Konvensi Genosida 1948 dan Pasal 6 Statuta Roma 1998, yang telah dijelaskan di atas. Saat ini, ada banyak versi tentang apa yang sebenarnya terjadi di Myanmar dalam berbagai media. Namun, sebagian besar media melaporkan bahwa telah terjadi banyak pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Rohingya, yang mayoritasnya adalah Muslim. Jika memang demikian, maka setidaknya unsur-unsur dalam huruf (a), (b), dan (c) Pasal 2 Konvensi Genosida 1948 dan Pasal 6 Statuta Roma 1998 telah terpenuhi.
Kedua, yang harus benar-benar diperhatikan adalah mens rea. Penting untuk membuktikan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap Rohingya adalah tindakan-tindakan terstruktur yang dimaksudkan (dolus specialis) untuk memusnahkan Rohingya secara keseluruhan atau sebagian.
Membuktikan mens rea bukanlah hal yang mudah, terutama dalam kejahatan genosida. Hakim-hakim di Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (“ICTR”) dalam kasus Akayesu menyatakan bahwa untuk dapat dituntut atas kejahatan genosida, suatu perbuatan harus dilakukan terhadap satu atau lebih orang, karena orang-orang tersebut adalah anggota suatu kelompok. Alasannya harus secara khusus karena mereka adalah bagian dari kelompok tersebut. Dengan demikian, korban dipilih bukan karena identitas individunya, tetapi karena keanggotaannya dalam suatu kelompok (etnis, ras, agama, nasionalitas) (paragraf 521).
Di pengadilan yang sama, hakim-hakim menetapkan bahwa mens rea/niat untuk melakukan kejahatan genosida, jika tidak diakui oleh pelaku, dapat disimpulkan dari sejumlah perbuatan, termasuk fakta bahwa terdakwa secara sengaja dan sistematis menargetkan serangan terhadap korban berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok, dan mengampuni mereka yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut (paragraf 523).
Namun, dalam perkembangan kasus, Marzuki Darusman, Ketua Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar, menyatakan bahwa ada informasi yang cukup untuk mengeluarkan perintah penyelidikan dan penuntutan terhadap pejabat senior Tatmadaw (militer Myanmar) atas kejahatan genosida. Marzuki Darusman juga menekankan bahwa ia dan timnya menganggap bahwa niat untuk melakukan kejahatan genosida dapat disimpulkan (dari temuan yang tersedia).
Menjawab Pertanyaan Anda: Apakah Konflik Israel-Palestina Termasuk Genosida?
Serupa dengan kasus Rohingya, untuk menganalisis apakah ada kejahatan genosida dalam konflik Israel-Palestina, kita perlu mengamati actus reus dan mens rea dalam konflik tersebut.
Berdasarkan penelitian kami, sebagian besar media juga melaporkan bahwa serangan Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza dalam rangka melemahkan kekuatan Hamas melanggar prinsip proporsionalitas dalam hukum kemanusiaan internasional. Contoh pelanggaran ini antara lain menyerang warga sipil dan membunuh warga sipil secara sembarangan, menyerang objek sipil dan fasilitas umum, penggunaan senjata yang dilarang, serangan udara yang tidak proporsional, dan lain-lain. Jika memang demikian, maka setidaknya unsur-unsur actus reus dalam huruf (a), (b), dan © Pasal 2 Konvensi Genosida 1948 dan Pasal 6 Statuta Roma 1998 terpenuhi.
Mens Rea dalam Konflik Israel-Palestina
Namun, sama seperti kasus Rohingya, yang lebih sulit untuk dibuktikan adalah mens rea. Apakah ada niat khusus dari pihak Israel untuk memusnahkan Palestina sebagai suatu kelompok bangsa, etnis, atau agama?
Pada tahun 2009, Richard Goldstone, seorang hakim Afrika Selatan yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Internasional untuk Yugoslavia dan Rwanda, ditunjuk oleh Dewan HAM PBB untuk memimpin penyelidikan independen tentang pelanggaran hukum internasional yang mungkin terjadi selama konflik di Gaza pada Desember 2008 hingga Januari 2009. Dalam laporannya, Goldstone menyatakan bahwa baik Israel maupun Hamas telah melakukan tindakan yang mungkin merupakan kejahatan perang. Namun, ia tidak menemukan bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa Israel memiliki niat untuk memusnahkan Palestina sebagai suatu kelompok bangsa, etnis, atau agama.
Dalam konteks hukum internasional, genosida adalah kejahatan yang sangat serius dan memiliki definisi yang sangat spesifik. Meskipun banyak orang menggunakan istilah ini secara longgar untuk merujuk pada berbagai bentuk kekerasan massal, penggunaan istilah ini dalam hukum internasional memiliki konsekuensi yang sangat serius.
Untuk menentukan apakah suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai genosida atau tidak, kita perlu melihat lebih jauh dari sekadar jumlah korban. Kita perlu mempertimbangkan niat pelaku, apakah ada upaya sistematis untuk menghancurkan suatu kelompok, dan apakah tindakan tersebut ditujukan khususnya terhadap kelompok tersebut.
Dalam kasus Rohingya dan konflik Israel-Palestina, meskipun ada bukti kuat bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang, belum ada kesepakatan internasional bahwa apa yang terjadi adalah genosida. Ini menunjukkan betapa sulitnya membuktikan kejahatan genosida dan pentingnya penyelidikan yang teliti dan independen.
Namun, satu hal yang jelas adalah bahwa setiap bentuk kekerasan massal, apakah itu genosida atau tidak, adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan harus dihentikan. Negara-negara dan komunitas internasional harus bekerja sama untuk mencegah kejahatan ini dan menuntut pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab.
Semoga informasi ini bermanfaat bagi pembaca. jika ada kebingungan bisa langsung menghubungi.