jlk – Dalam hiruk-pikuk dinamika politik Indonesia, satu nama yang tak pernah lepas dari sorotan adalah Prabowo Subianto.
Sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo telah lama dikenal dengan komitmennya untuk mengembalikan Indonesia ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 asli, sebelum serangkaian amandemen dilakukan pada awal abad ke-21.
Namun, seiring berjalannya waktu, banyak yang menagih janji tersebut, mempertanyakan sejauh mana keseriusan Prabowo dan partainya dalam mewujudkan cita-cita tersebut.
“Gerindra sudah jelas, perjuangan kami kembali ke UUD ’45 yang asli,” ujar Prabowo dalam sebuah pernyataan yang menegaskan posisi partainya. Pernyataan ini bukanlah yang pertama, tetapi merupakan salah satu dari banyak yang telah diulang-ulang sejak tahun 2019.
Analisis yang dilakukan oleh The Global Review menyoroti fenomena ‘entek amek kurang golek’ yang terjadi sejak Indonesia menggunakan UUD NRI 1945 Produk Amandemen, atau UUD 2002.
Fenomena ini, yang dalam bahasa Jawa berarti ‘habis ambil, kurang cari’, menggambarkan kondisi di mana subjektivitas dan isu sentimen menguasai nalar publik, menyebabkan perpecahan dan polarisasi yang mendalam di masyarakat.
Dari perspektif kolonialisme gaya baru, UUD 2002 dianggap sebagai strategi ‘devide et impera’ yang disisipkan oleh pihak asing untuk memecah belah bangsa.
Prabowo sendiri telah menyatakan bahwa UUD 1945 bisa diberi penambahan atau adendum-adendum perbaikan, namun batang tubuhnya tidak boleh ditinggalkan.
Komitmen Prabowo untuk kembali ke UUD 1945 asli bukan hanya soal nostalgia konstitusi, tetapi juga tentang bagaimana Indonesia mengatur dirinya sebagai negara. Dengan pemilihan presiden langsung yang telah dilakukan sejak 2004, banyak yang merasa bahwa sistem ini telah membawa lebih banyak perpecahan daripada kesatuan.
Pada Pilpres 2024, banyak yang menantikan apakah Prabowo akan memenuhi janjinya atau apakah ini akan menjadi janji politik yang menguap bersama riuhnya kampanye.
Dengan Pilpres 2029 dan 2034 yang akan datang, pertanyaan besar yang menggantung adalah: apakah Indonesia akan terus berjalan di bawah bayang-bayang UUD 2002, ataukah akan ada perubahan menuju UUD 1945 yang asli, seperti yang dijanjikan Prabowo?
Sebagai penutup, mari kita renungkan kata-kata Prabowo: “Bukan. Kalau sudah konsensus dan keputusan mayoritas itu bisa diadendum perbaikan, UUD ’45 bukan tidak boleh diperbaiki, boleh.
Namun, di mana-mana sebagai negara maju dan kuat, UUD ’45 sebagai batang tubuh jangan ditinggalkan.” Apakah komitmen ini akan terwujud, ataukah akan tetap menjadi wacana yang tak kunjung berujung pada aksi nyata? Hanya waktu yang akan menjawab.