jlk – Di tengah gemuruh konflik dan keheningan malam Ramadan, para dokter di Gaza berjuang melawan keterbatasan yang tak terbayangkan.
Dengan penerangan yang redup dan peralatan medis yang nyaris tak ada, mereka tetap setia pada sumpah Hippocrates mereka.
“Kami bekerja dengan apa yang kami miliki,” ujar Dr. Amani, sambil mengelap keringat yang bercampur debu di wajahnya. “Tetapi, apa yang kami miliki, sangatlah sedikit.”
Di lorong-lorong rumah sakit yang sepi, suara adzan berkumandang, mengingatkan bahwa waktu berbuka telah tiba.
Namun, bagi para dokter ini, iftar hanya sebatas mimpi. Mereka terus bekerja, menangani pasien demi pasien, tanpa henti, tanpa keluhan.
“Kami berpuasa, bukan hanya dari makanan, tapi juga dari harapan akan bantuan yang cukup,” kata seorang perawat, matahari terbenam tak lagi membawa kelegaan, melainkan tugas-tugas yang menumpuk.
Dari lantai rumah sakit di utara Gaza, dokter-dokter operasi pada anak-anak yang terluka, sementara yang lainnya kelaparan dalam kondisi yang “mengerikan”.
Di tengah kekurangan yang parah, mereka menghadapi “ratusan kasus trauma setiap hari”.
“Pagi ini kami terbangun dan mendapati empat pasien meninggal di ICU. Salah satunya berusia 10 tahun, dan ibunya menolak untuk meninggalkan sisi tempat tidur anaknya, menolak untuk percaya bahwa anaknya telah tiada,” ungkap Dr. Samer, seorang ahli bedah ortopedi.
Kisah-kisah ini bukan hanya sekedar narasi; ini adalah realitas yang pahit. Di balik setiap statistik dan angka, ada nyawa yang bergantung pada tangan-tangan yang lelah namun tak kenal menyerah.
“Orang-orang ini, mereka hanya membutuhkan bantuan. Mereka hanya ingin ini semua berakhir… Tidak ada yang membahas politik di sini. Mereka hanya berbicara tentang makanan dan air dan tempat berlindung, dan mereka hanya ingin perang berakhir,” kata Dr. Samer.
Dengan kondisi yang semakin memburuk, “kelaparan yang akan terjadi kapan saja antara sekarang dan Mei 2024” di wilayah utara Gaza, menurut laporan terbaru dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menggambarkan situasi ini sebagai “bencana buatan manusia yang sepenuhnya” dan menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera.
Di tengah kegelapan malam Ramadan, lampu-lampu rumah sakit yang padam, dan perut-perut yang kosong, para dokter di Gaza tetap berdiri tegak, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Mereka adalah saksi bisu atas ketabahan dan keberanian yang tak terukur, yang terus berjuang meski dunia terlihat memalingkan wajah.
“Tidak ada tempat yang aman di Jalur Gaza. Ini adalah perang terhadap anak-anak. Terhadap masa kecil mereka dan masa depan mereka. Gencatan senjata sekarang,” demikian seruan UNRWA di media sosial.
Dalam setiap tetes keringat dan setiap tetes darah, mereka menuliskan kisah kepahlawanan yang akan dikenang sepanjang masa.
Kisah yang, semoga saja, tidak hanya akan menjadi catatan sejarah, tetapi juga panggilan bagi kemanusiaan untuk bangkit dan bertindak.