Zina adalah salah satu dosa besar dalam Islam yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Zina juga dapat terjadi antara laki-laki dan perempuan yang belum kawin, tetapi tidak memiliki ikatan pernikahan yang sah menurut syariat Islam.
Zina tidak hanya merusak kehormatan diri dan keluarga, tetapi juga menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, seperti penyebaran penyakit kelamin, kehamilan tidak diinginkan, aborsi, perceraian, dan lain-lain. Salah satu akibat zina yang paling rumit adalah adanya anak hasil zina, yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan terlarang antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri.
Anak hasil zina adalah anak yang tidak beruntung, karena tidak mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari ayah dan ibunya secara utuh. Anak hasil zina juga mengalami kesulitan dalam hal status hukum, hak waris, dan identitas diri. Anak hasil zina sering menjadi korban dari diskriminasi, pelecehan, dan pengucilan dari lingkungan sekitarnya.
Lantas, bisakah anak hasil zina diakui oleh ayah atau ibunya? Apa dasar hukumnya? Bagaimana cara mengurusnya? Dan apa saja konsekuensinya? Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengacu pada sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia, baik dari sudut pandang hukum Islam maupun hukum positif.
Hukum Islam tentang Anak Hasil Zina
Hukum Islam tidak mengenal anak hasil zina, terutama bernasab dengan ayah kandungnya (biologis). Sejalan dengan tujuan mulia dari syariat Islam, pengakuan anak hasil zina hanya bisa diakui atau bernasab dengan ibu kandungnya, hukum Islam tidak mengenal pengakuan kepada anak angkat (adopsi), hanya diakui sebagai saudara seagama saja.
Dasar larangan zina diatur dalam Al-Qur’an, Sunah/Hadis SAW itu dosa, hukumannya berat. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seorang pemabuk minum khamr dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hukuman bagi pelaku zina berbeda-beda tergantung pada status pernikahannya. Jika pelaku zina adalah orang yang sudah menikah, maka hukumannya adalah dirajam (dilempari batu) sampai mati. Jika pelaku zina adalah orang yang belum menikah, maka hukumannya adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجْمِ الْمُحْصَنِ وَبِجَلْدِ الْبِكْرِ بِالْجُرَيْدِ مِائَةَ جَلْدَةٍ وَنَفْيِهِ سَنَةً
“Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajam orang yang sudah menikah dan mencambuk orang yang belum menikah dengan pelepah kurma seratus kali dan mengasingkannya selama setahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun anak yang dilahirkan dari hubungan zina, maka tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, melainkan hanya dengan ibunya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak itu milik tempat tidur (suami sah), dan bagi pezina adalah batu (tidak ada hubungan).” (HR. Abu Dawud)
Anak hasil zina juga tidak berhak mendapatkan warisan dari ayahnya, melainkan hanya dari ibunya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ahmad, Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَرِثُ الْوَلَدُ مِنْ زِنَاةٍ وَلَا يَرِثُ الزَّانِي
“Anak dari zina tidak berhak mewarisi dan pezina tidak berhak mewarisi.” (HR. Ahmad)
Anak hasil zina juga tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya dengan cara menikahi ibunya, karena hal itu dianggap sebagai pengakuan palsu yang bertentangan dengan kebenaran. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barangsiapa yang mengaku kepada bukan bapaknya, padahal ia mengetahui, maka surga haram baginya.” (HR. Muslim)
Hukum Positif tentang Anak Hasil Zina
Hukum positif di Indonesia mengatur tentang anak hasil zina dalam beberapa undang-undang, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Zina adalah salah satu dosa besar dalam Islam yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Zina juga dapat terjadi antara laki-laki dan perempuan yang belum kawin, tetapi tidak memiliki ikatan pernikahan yang sah menurut syariat Islam.
Zina tidak hanya merusak kehormatan diri dan keluarga, tetapi juga menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, seperti penyebaran penyakit kelamin, kehamilan tidak diinginkan, aborsi, perceraian, dan lain-lain. Salah satu akibat zina yang paling rumit adalah adanya anak hasil zina, yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan terlarang antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri.
Anak hasil zina adalah anak yang tidak beruntung, karena tidak mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari ayah dan ibunya secara utuh. Anak hasil zina juga mengalami kesulitan dalam hal status hukum, hak waris, dan identitas diri. Anak hasil zina sering menjadi korban dari diskriminasi, pelecehan, dan pengucilan dari lingkungan sekitarnya.
Lantas, bisakah anak hasil zina diakui oleh ayah atau ibunya? Apa dasar hukumnya? Bagaimana cara mengurusnya? Dan apa saja konsekuensinya? Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengacu pada sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia, baik dari sudut pandang hukum Islam maupun hukum positif.
Hukum Islam tentang Anak Hasil Zina
Hukum Islam tidak mengenal anak hasil zina, terutama bernasab dengan ayah kandungnya (biologis). Sejalan dengan tujuan mulia dari syariat Islam, pengakuan anak hasil zina hanya bisa diakui atau bernasab dengan ibu kandungnya, hukum Islam tidak mengenal pengakuan kepada anak angkat (adopsi), hanya diakui sebagai saudara seagama saja.
Dasar larangan zina diatur dalam Al-Qur’an, Sunah/Hadis SAW itu dosa, hukumannya berat. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seorang pemabuk minum khamr dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hukuman bagi pelaku zina berbeda-beda tergantung pada status pernikahannya. Jika pelaku zina adalah orang yang sudah menikah, maka hukumannya adalah dirajam (dilempari batu) sampai mati. Jika pelaku zina adalah orang yang belum menikah, maka hukumannya adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجْمِ الْمُحْصَنِ وَبِجَلْدِ الْبِكْرِ بِالْجُرَيْدِ مِائَةَ جَلْدَةٍ وَنَفْيِهِ سَنَةً
“Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajam orang yang sudah menikah dan mencambuk orang yang belum menikah dengan pelepah kurma seratus kali dan mengasingkannya selama setahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun anak yang dilahirkan dari hubungan zina, maka tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, melainkan hanya dengan ibunya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak itu milik tempat tidur (suami sah), dan bagi pezina adalah batu (tidak ada hubungan).” (HR. Abu Dawud)
Anak hasil zina juga tidak berhak mendapatkan warisan dari ayahnya, melainkan hanya dari ibunya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ahmad, Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَرِثُ الْوَلَدُ مِنْ زِنَاةٍ وَلَا يَرِثُ الزَّانِي
“Anak dari zina tidak berhak mewarisi dan pezina tidak berhak mewarisi.” (HR. Ahmad)
Anak hasil zina juga tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya dengan cara menikahi ibunya, karena hal itu dianggap sebagai pengakuan palsu yang bertentangan dengan kebenaran. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barangsiapa yang mengaku kepada bukan bapaknya, padahal ia mengetahui, maka surga haram baginya.” (HR. Muslim)
Hukum Positif tentang Anak Hasil Zina
Hukum positif di Indonesia mengatur tentang anak hasil zina dalam beberapa undang-undang, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
tentang penjelasan dalam Pasal 43 ayat (2) UU Perkawinan yang mengatur:
Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, apabila ayahnya mengakui sebagai anaknya.
Pengakuan ayah terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dengan cara melaporkan kepada pejabat pencatatan sipil dan dicatat dalam catatan sipil. Pengakuan ayah juga dapat dilakukan dengan cara membuat pernyataan tertulis di hadapan notaris atau dengan cara lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam UU Perlindungan Anak, anak hasil zina disebut sebagai anak yang lahir di luar perkawinan. Pasal 27 ayat (1) UU Perlindungan Anak mengatur tentang anak yang lahir di luar perkawinan sebagai berikut:
Anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak yang lahir dari perkawinan.
Lebih lanjut, Pasal 27 ayat (2) UU Perlindungan Anak mengatur:
Anak yang lahir di luar perkawinan berhak atas pengakuan status anak, pengasuhan, dan pembinaan dari ayah dan ibunya.
Dalam KUHP, zina diatur dalam Pasal 284 sampai dengan Pasal 292. Pelaku zina dapat dihukum penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika ada pengaduan dari suami atau istri yang dirugikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa anak hasil zina dapat diakui oleh ayahnya, tetapi hanya dalam konteks hukum positif, bukan hukum Islam. Pengakuan ayah terhadap anak hasil zina dapat memberikan hak-hak tertentu kepada anak tersebut, seperti hak atas pengasuhan dan pembinaan. Namun, anak hasil zina tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya dalam hukum Islam, dan tidak berhak mendapatkan warisan dari ayahnya.
Pada akhirnya, setiap individu harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Zina adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT dan memiliki konsekuensi hukum yang berat, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, sebaiknya setiap Muslim menjauhi perbuatan zina dan menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang Anda butuhkan. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.