Perceraian adalah hal yang tidak diinginkan oleh setiap pasangan suami istri, namun terkadang menjadi pilihan terakhir untuk mengakhiri konflik rumah tangga. Perceraian tidak hanya berdampak pada aspek psikologis dan sosial, tetapi juga aspek ekonomi, terutama bagi mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).
PNS yang bercerai harus mengikuti aturan tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 (PP 45/1990). Salah satu aturan yang menarik perhatian adalah tentang pembagian gaji PNS yang bercerai.
Menurut Pasal 8 PP 45/1990, PNS pria yang bercerai wajib memberikan sepertiga dari gajinya untuk menafkahi anak-anaknya, dan separuh dari gajinya untuk menafkahi mantan istrinya, jika perceraian atas kehendak suami atau karena kesalahan suami. Namun, jika perceraian atas kehendak istri atau karena kesalahan istri, maka mantan istri tidak berhak mendapatkan bagian dari gaji mantan suaminya.
Aturan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, apakah putusan pengadilan yang menetapkan pembagian gaji PNS yang bercerai berbeda dari ketentuan PP 45/1990 masih sah dan wajib diikuti? Bagaimana jika putusan pengadilan lebih menguntungkan atau merugikan salah satu pihak? Apakah ada dasar hukum lain yang dapat dijadikan acuan selain PP 45/1990?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu melihat dari dua sudut pandang, yaitu hukum negara dan hukum agama. Hukum negara adalah kumpulan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan sebagainya. Hukum agama adalah kumpulan norma-norma yang bersumber dari ajaran agama yang dianut oleh masyarakat, seperti hukum Islam, hukum Kristen, hukum Hindu, dan sebagainya.
Dari sudut pandang hukum negara, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang berwenang untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara hukum. Putusan pengadilan memiliki kekuatan untuk menciptakan atau meniadakan suatu keadaan hukum. Oleh karena itu, putusan pengadilan wajib diikuti oleh para pihak yang perkaranya telah diputuskan oleh hakim berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Namun, putusan pengadilan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hakim harus memutuskan suatu perkara dengan dasar peraturan perundang-undangan atau sumber hukum tidak tertulis. Hakim juga dapat mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan perkara perceraian PNS adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (UU Perkawinan). Menurut Pasal 41 UU Perkawinan, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, bilamana bapak tidak dapat memenuhi kewajibannya, Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya.
Dari sudut pandang hukum agama, khususnya hukum Islam, perceraian adalah hal yang dibolehkan, namun dibenci oleh Allah. Perceraian harus dilakukan dengan cara yang baik dan adil, tanpa menzalimi atau merugikan salah satu pihak. Salah satu hak dan kewajiban yang timbul akibat perceraian adalah nafkah, yaitu bantuan materi yang diberikan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya.
Menurut hukum Islam, nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikannya adalah nafkah iddah dan nafkah mut’ah. Nafkah iddah adalah nafkah yang diberikan selama masa iddah, yaitu masa tunggu sebelum istri dapat menikah lagi dengan orang lain. Masa iddah berbeda-beda tergantung pada kondisi istri, misalnya hamil, menyusui, atau haid. Nafkah mut’ah adalah nafkah yang diberikan sebagai bentuk penghargaan atau penghiburan atas perceraian yang dialami oleh istri. Besaran nafkah mut’ah ditentukan oleh hakim berdasarkan pertimbangan kemampuan suami dan kebutuhan istri.
Nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada anak-anaknya adalah nafkah madhiyah, yaitu nafkah yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak, seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Nafkah madhiyah harus diberikan sampai anak mencapai usia baligh atau dewasa, atau lebih lama jika anak masih membutuhkan bantuan orang tua. Besaran nafkah madhiyah ditentukan oleh hakim berdasarkan pertimbangan kemampuan suami dan kebutuhan anak.
Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa ada perbedaan antara hukum negara dan hukum agama dalam menentukan pembagian gaji PNS yang bercerai. Hukum negara mengatur secara pasti besaran dan jangka waktu pemberian nafkah, sedangkan hukum agama memberikan kewenangan kepada hakim untuk menyesuaikan dengan kondisi masing-masing pihak. Hukum negara juga tidak membedakan antara nafkah iddah, nafkah mut’ah, dan nafkah madhiyah, melainkan hanya menyebutnya sebagai nafkah.
Lalu, bagaimana jika terjadi konflik antara hukum negara dan hukum agama dalam perkara perceraian PNS? Apakah putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan PP 45/1990 masih boleh dan sah? Jawabannya adalah tergantung pada kasusnya. Jika putusan pengadilan lebih menguntungkan atau merugikan salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan upaya hukum, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali, untuk membatalkan atau mengubah putusan tersebut.
Namun, jika putusan pengadilan lebih adil dan sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan, maka putusan tersebut dapat diterima dan diikuti oleh para pihak. Misalnya, jika hakim menetapkan bahwa PNS pria yang bercerai hanya wajib memberikan nafkah kepada mantan istrinya sampai masa iddah saja, atau bahwa PNS wanita yang bercerai ikut membantu menafkahi anak-anaknya, maka putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan yang berdasarkan hukum agama dan UU Perkawinan, bukan PP 45/1990.
Dalam konteks hukum agama dan hukum negara, putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan PP 45/1990 masih dapat diterima dan diikuti, asalkan putusan tersebut lebih adil dan sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan. Misalnya, jika hakim menetapkan bahwa PNS pria yang bercerai hanya wajib memberikan nafkah kepada mantan istrinya sampai masa iddah saja, atau bahwa PNS wanita yang bercerai ikut membantu menafkahi anak-anaknya, maka putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan yang berdasarkan hukum agama dan UU Perkawinan, bukan PP 45/1990.
Namun, jika putusan pengadilan lebih menguntungkan atau merugikan salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan upaya hukum, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali, untuk membatalkan atau mengubah putusan tersebut. Hakim juga harus mempertimbangkan kemampuan suami dan kebutuhan istri atau anak dalam menentukan besaran nafkah.
Dalam konteks hukum Islam, nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikannya adalah nafkah iddah dan nafkah mut’ah. Nafkah iddah adalah nafkah yang diberikan selama masa iddah, yaitu masa tunggu sebelum istri dapat menikah lagi dengan orang lain. Masa iddah berbeda-beda tergantung pada kondisi istri, misalnya hamil, menyusui, atau haid. Nafkah mut’ah adalah nafkah yang diberikan sebagai bentuk penghargaan atau penghiburan atas perceraian yang dialami oleh istri. Besaran nafkah mut’ah ditentukan oleh hakim berdasarkan pertimbangan kemampuan suami dan kebutuhan istri.
Nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada anak-anaknya adalah nafkah madhiyah, yaitu nafkah yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak, seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Nafkah madhiyah harus diberikan sampai anak mencapai usia baligh atau dewasa, atau lebih lama jika anak masih membutuhkan bantuan orang tua. Besaran nafkah madhiyah ditentukan oleh hakim berdasarkan pertimbangan kemampuan suami dan kebutuhan anak.
Dengan demikian, putusan pembagian gaji PNS yang cerai yang tidak sesuai dengan aturan masih dapat diterima dan diikuti, asalkan putusan tersebut lebih adil dan sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan. Namun, jika putusan tersebut lebih menguntungkan atau merugikan salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan upaya hukum untuk membatalkan atau mengubah putusan tersebut. Hakim juga harus mempertimbangkan kemampuan suami dan kebutuhan istri atau anak dalam menentukan besaran nafkah.