Debt collector atau penagih utang adalah profesi yang sering dianggap menakutkan dan menimbulkan ketakutan bagi banyak orang. Mereka biasanya bekerja untuk pihak kreditur atau pemberi hutang, baik perbankan, leasing, maupun pinjaman online (pinjol), untuk menagih utang-utang yang macet atau tidak terbayar oleh debitur atau penerima hutang.
Namun, apakah debt collector berhak untuk menyita barang-barang milik debitur sebagai cara untuk melunasi utangnya? Apa saja aturan dan batasan yang mengatur tindakan debt collector dalam melakukan penagihan utang? Bagaimana cara debitur melindungi diri dan hak-haknya dari tindakan debt collector yang melanggar hukum?
Penagihan Utang Berdasarkan Kuasa
Debt collector bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk menagih utang kepada debitur. Perjanjian pemberian kuasa ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Debt collector harus memiliki surat kuasa yang sah dan jelas dari kreditur, yang mencantumkan nama, alamat, nomor telepon, dan identitas lainnya dari kreditur dan debitur, serta jumlah dan jatuh tempo utang yang harus dibayar.
Debt collector juga harus menghormati hak-hak debitur sebagai konsumen, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu hak konsumen adalah mendapatkan perlakuan yang jujur dan adil. Hal ini berarti debt collector tidak boleh melakukan penagihan utang dengan cara-cara yang tidak etis, seperti mengancam, memaksa, menghina, memfitnah, atau melakukan kekerasan fisik atau psikis terhadap debitur atau keluarganya.
Penyitaan Barang Hanya Bisa Dilakukan dengan Putusan Pengadilan
Salah satu cara yang sering dilakukan oleh debt collector untuk menekan debitur agar membayar utangnya adalah dengan menyita atau mengambil paksa barang-barang milik debitur, seperti kendaraan, perabotan, atau elektronik. Namun, apakah hal ini dibenarkan oleh hukum?
Menurut advokat Alexander Lay dari Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi, debt collector yang mendapat kuasa menagih utang dari kreditur tidak boleh menyita paksa barang-barang milik debitur. Alex menyatakan bahwa pada prinsipnya penyitaan barang-barang milik debitur yang wanprestasi hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan.
Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyebutkan bahwa eksekusi terhadap harta debitur yang berada dalam pengawasan pengadilan hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan hakim pengawas.
Lain halnya jika utang tersebut disertai dengan jaminan, seperti fidusia, hak tanggungan, atau hipotek. Dalam hal ini, kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan dengan prosedur tertentu, seperti dengan putusan pengadilan atau surat kuasa eksekusi yang tercantum dalam sertifikat jaminan.
Debitur Bisa Melaporkan Debt Collector yang Melanggar Hukum
Jika debt collector tetap menyita atau mengambil secara paksa barang-barang milik debitur secara melawan hukum, maka debitur atau keluarganya dapat melaporkan debt collector tersebut ke polisi. Perbuatan debt collector tersebut dapat dijerat dengan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian, yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama lima tahun.
Jika debt collector melakukan penyitaan barang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka dapat dijerat dengan Pasal 365 ayat (1) KUHP tentang pencurian dengan kekerasan, yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Selain itu, debitur juga dapat mengadukan debt collector yang melanggar hukum ke lembaga perlindungan konsumen, seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), tergantung dari jenis layanan kredit yang digunakan.
Debitur Tetap Wajib Bayar Utang
Meskipun debt collector tidak berhak menyita barang milik debitur, bukan berarti debitur bisa mengabaikan kewajiban untuk membayar utangnya. Debitur tetap wajib melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat dengan kreditur. Jika tidak, maka kreditur berhak mengajukan somasi dan menggugat debitur ke pengadilan atas dasar wanprestasi.
Menurut Pasal 1267 KUHPerdata, salah satu hal yang dapat dituntut dari pihak yang wanprestasi, yaitu pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian. Ganti kerugian tersebut terdiri dari tiga unsur, yaitu biaya, rugi, dan bunga.
Oleh karena itu, debitur sebaiknya berusaha untuk menyelesaikan utangnya dengan cara yang baik dan bijak, seperti dengan melakukan negosiasi, restrukturisasi, atau penyelesaian kredit macet (PKM). Debitur juga dapat meminta bantuan dari lembaga bantuan hukum atau konsultan hukum jika mengalami kesulitan dalam mengurus utangnya.