jlk – Dolar AS kena batunya setelah risalah pertemuan The Fed yang dirilis pada Rabu (21/2/2024).
Menunjukkan bahwa bank sentral AS itu ngambek dan tidak mau buru-buru pangkas suku bunga, meskipun inflasi lagi gila-gilaan dan ekonomi dunia lagi kacau balau.
Dalam risalah The Fed itu, para pejabat bank sentral AS bilang bahwa mereka pengin lihat dulu bukti-bukti yang meyakinkan bahwa inflasi bakal turun ke target 2% sebelum mereka putusin untuk longgarin kebijakan moneter.
Mereka juga ngomong pentingnya ngeliat data ekonomi yang masuk dengan teliti, soalnya ada banyak ketidakpastian yang berhubungan sama kebijakan fiskal dan pasar tenaga kerja.
Para pejabat The Fed juga ngasih tau optimisme dan kehati-hatian mereka tentang prospek ekonomi AS.
Mereka ngaku bahwa pertumbuhan ekonomi AS masih oke, didorong sama permintaan domestik yang kuat, vaksinasi yang makin meningkat, dan stimulus fiskal.
Tapi, mereka juga ngaku bahwa aktivitas ekonomi lagi tertekan sama keterbatasan pasokan dan kenaikan harga energi.
Reaksi pasar terhadap risalah The Fed cukup sepi, karena nggak ada kejutan besar atau perubahan sikap yang signifikan dari bank sentral AS.
Indeks dolar AS, yang ngukur nilai greenback terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya, turun 0,16% jadi 97,07 pada akhir perdagangan Rabu.
Dolar AS lemah terhadap euro, yen, dan pound, tapi kuat terhadap dolar Kanada dan Australia.
Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah AS naik dikit, nunjukin ekspektasi pasar bahwa The Fed bakal naikin suku bunga acuan sebanyak tiga kali tahun ini, mulai dari bulan Maret.
Pasar saham AS berakhir bervariasi, dengan indeks Dow Jones Industrial Average dan S&P 500 naik, tapi indeks Nasdaq Composite turun.
Risalah The Fed punya implikasi buat Indonesia, terutama terkait sama arus modal, nilai tukar rupiah, dan kebijakan Bank Indonesia (BI).
Kalo The Fed naikin suku bunga acuan lebih cepet atau lebih agresif dari yang diharapkan.
Hal itu bisa bikin aset berdenominasi dolar AS jadi lebih menarik buat investor asing dan narik arus modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Hal ini bisa ngepres nilai tukar rupiah dan nambahin risiko stabilitas makroekonomi.
Buat ngantisipasi dampak The Fed, BI perlu jaga kredibilitas dan konsistensi kebijakan moneter, serta perkuat koordinasi sama pemerintah dan otoritas lainnya.
BI juga perlu pertahankan cadangan devisa yang cukup, pantau perkembangan pasar keuangan global dan domestik, dan ambil langkah-langkah yang perlu buat jaga stabilitas sistem keuangan.
Selain itu, BI perlu dukung pemulihan ekonomi Indonesia.
Semoga artikel ini bermanfaat buat Anda. Apakah Anda punya pertanyaan, saran, atau kritik tentang artikel ini? Apakah Anda ingin saya tulis artikel lain dengan gaya yang berbeda? Silakan beri tahu saya pendapat Anda.