jlk – Israel dikenal sebagai negara yang memiliki kemampuan ekonomi yang luar biasa, terutama di bidang teknologi tinggi.
Namun, belakangan ini, negara Yahudi itu mengalami krisis keuangan yang parah akibat perangnya dengan Palestina di Jalur Gaza.
Israel berencana menambah utang sekitar USD 60 miliar atau sekitar Rp 939,6 triliun di tahun ini, menunda perekrutan pegawai, dan menaikkan pajak untuk membiayai operasi militer yang brutal dan mahal.
Perang Gaza adalah konflik bersenjata antara Israel dan Hamas, kelompok militan Islam yang menguasai Jalur Gaza, sebuah wilayah yang dikepung oleh Israel dan Mesir.
Perang ini meletus pada Oktober 2023, ketika Hamas menembakkan roket ke Israel sebagai balasan atas pembunuhan seorang pemimpinnya oleh Israel.
Israel kemudian melancarkan serangan udara dan darat yang menghancurkan infrastruktur, rumah, sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah di Gaza, menewaskan ribuan warga sipil, termasuk anak-anak .
Perang ini tidak hanya merugikan Palestina, tetapi juga Israel. Menurut Kementerian Keuangan Israel, perang ini menelan biaya sekitar USD 15 miliar atau sekitar Rp 234 triliun, yang setara dengan 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Israel.
Biaya ini meliputi pengeluaran untuk pertahanan, ganti rugi, bantuan kemanusiaan, dan pemulihan.
Selain itu, perang ini juga menyebabkan kerugian ekonomi akibat penurunan aktivitas bisnis, pariwisata, investasi, dan perdagangan. Ekonomi Israel diperkirakan turun 20 persen secara tahunan pada kuartal IV 2023.
Perang ini juga berdampak negatif bagi hubungan Israel dengan dunia internasional. Israel mendapat kecaman dan protes dari berbagai negara dan organisasi karena dianggap melanggar hak asasi manusia, hukum perang, dan resolusi PBB.
Beberapa negara, seperti Turki, Qatar, dan Iran, bahkan memberikan dukungan politik dan finansial kepada Hamas.
Israel juga menghadapi ancaman sanksi, boikot, dan isolasi dari sejumlah negara dan kelompok, yang dapat mempengaruhi aksesnya ke pasar dan sumber daya global .
Strategi Israel: Utang, Pajak, dan Penghematan
Untuk mengatasi krisis keuangan yang dihadapinya, Israel mengambil sejumlah langkah yang kontroversial dan berisiko.
Pertama, Israel berencana menambah utang pemerintah sebesar USD 60 miliar atau sekitar Rp 939,6 triliun di tahun ini, yang akan meningkatkan rasio utang terhadap PDB menjadi 90 persen, jauh di atas batas yang direkomendasikan oleh IMF.
Utang ini akan digunakan untuk menutup defisit anggaran, membiayai belanja pertahanan, dan merangsang pertumbuhan ekonomi.
Namun, utang ini juga akan menimbulkan beban bunga yang tinggi, mengurangi ruang fiskal, dan meningkatkan ketergantungan Israel terhadap kreditur asing.
Kedua, Israel juga akan menaikkan pajak untuk meningkatkan pendapatan negara. Kementerian Keuangan Israel berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 17 persen menjadi 18 persen di 2025.
Selain itu, mereka juga akan menaikkan tarif pajak penghasilan di sektor tertentu, seperti perbankan, rokok, dan minuman beralkohol.
Pajak ini diharapkan dapat menghasilkan tambahan 10 miliar shekel atau sekitar Rp 42 triliun per tahun. Namun, pajak ini juga akan menimbulkan dampak negatif bagi daya beli, konsumsi, dan investasi masyarakat, yang dapat menghambat pemulihan ekonomi.
Ketiga, Israel juga akan menghemat pengeluaran untuk mengurangi defisit anggaran. Kementerian Keuangan Israel akan membekukan perekrutan pegawai pemerintah, menunda kenaikan upah di sektor publik, dan mengurangi subsidi dan bantuan sosial.
Penghematan ini diharapkan dapat menghemat 15 miliar shekel atau sekitar Rp 63 triliun per tahun.
Namun, penghematan ini juga akan menimbulkan dampak negatif bagi kesejahteraan, kualitas layanan, dan produktivitas pegawai negeri, yang dapat mengurangi efisiensi dan efektivitas pemerintahan.
Dari kasus Israel, kita dapat belajar bahwa perang itu mahal dan tidak efisien. Perang tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan penderitaan, tetapi juga merusak ekonomi dan hubungan internasional.
Perang juga tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah menciptakan masalah baru. Perang juga tidak menguntungkan siapa pun, tetapi malah merugikan semua pihak.
Oleh karena itu, kita harus menghindari perang dan mencari solusi damai untuk menyelesaikan konflik.
Kita harus menghormati hak asasi manusia, hukum perang, dan resolusi PBB. Kita harus berdialog, bernegosiasi, dan bekerja sama untuk mencapai kesepakatan yang adil dan bermartabat.
Kita harus berinvestasi pada pembangunan, pendidikan, dan kesehatan, bukan pada senjata, tentara, dan perang. Kita harus membangun perdamaian, bukan permusuhan.
Seperti kata Mahatma Gandhi, “Tidak ada jalan menuju perdamaian, perdamaian itu adalah jalan.” Mari kita berjalan bersama menuju perdamaian, bukan perang.
Demikian Kisanak.