Pada 22 Januari 2024, sekelompok relawan Erick Thohir alumni Amerika Serikat (ETAS) menggelar acara di Plaza Senayan, Jakarta, yang dihadiri oleh calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Dalam acara tersebut, Garibaldi Thohir alias Boy Thohir, kakak kandung Menteri BUMN Erick Thohir, menyatakan bahwa sepertiga penyumbang ekonomi Indonesia mendukung pasangan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka. Dia juga menyebut beberapa nama konglomerat yang hadir di acara itu, seperti Djarum Grup, Sampoerna Grup, Adaro Grup, dan Ninin, yang disebut sebagai wanita terkaya di Indonesia. Boy Thohir mengaku bahwa kehadiran Prabowo memberikan semangat bagi mereka untuk memenangkan pilpres 2024 satu putaran.
Pernyataan Boy Thohir ini menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai pihak, terutama dari tim sukses dan pendukung calon presiden lainnya. Timnas AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) merespons dengan mengatakan bahwa uang bukan segalanya dalam pemilu, dan bahwa rakyat Indonesia semakin cerdas dan punya pengetahuan yang baik untuk memilih calon yang memiliki integritas. Timnas AMIN juga mengklaim bahwa mereka telah bekerja dengan dana yang minim, namun mendapat respons positif dari masyarakat. Sementara itu, tim sukses Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 03, mengaku tidak tahu siapa yang dimaksud dengan sepertiga penyumbang ekonomi tersebut, dan mengatakan bahwa itu adalah hak para pengusaha untuk mendukung siapa pun yang mereka inginkan⁴.
Lalu, apa arti dukungan sepertiga penguasa ekonomi untuk Prabowo-Gibran? Apakah itu menunjukkan kekuatan ekonomi dan politik yang signifikan, atau hanya sekadar simbolik dan tidak berpengaruh? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat lebih jauh siapa saja yang termasuk dalam kelompok sepertiga penguasa ekonomi tersebut, dan apa motivasi dan dampak dari dukungan mereka.
Siapa Saja Sepertiga Penguasa Ekonomi?
Boy Thohir tidak menjelaskan secara rinci bagaimana dia menghitung sepertiga penguasa ekonomi Indonesia, dan apa kriteria yang digunakan untuk menentukan siapa yang masuk dalam kelompok tersebut. Namun, dari beberapa nama yang disebutkan olehnya, kita dapat mengira-ngira bahwa dia merujuk pada para konglomerat atau pemilik perusahaan besar yang bergerak di berbagai sektor, seperti rokok, minuman, pertambangan, energi, properti, dan lain-lain. Menurut daftar orang terkaya di Indonesia versi Forbes pada 2021, beberapa nama yang disebutkan oleh Boy Thohir memang masuk dalam 10 besar, seperti Budi Hartono (Djarum Grup), Putera Sampoerna (Sampoerna Grup), Garibaldi Thohir (Adaro Grup), dan Ariani Saraswati Subianto (Ninin) (Triputra Grup). Selain itu, ada juga nama-nama lain yang diduga mendukung Prabowo-Gibran, seperti Sandiaga Uno (Saratoga Grup), Hary Tanoesoedibjo (MNC Grup), Chairul Tanjung (CT Corp), dan Hashim Djojohadikusumo (Arsari Grup), yang merupakan adik kandung Prabowo.
Jika kita menghitung total kekayaan dari nama-nama di atas, maka kita akan mendapatkan angka sekitar 50 miliar dolar AS, atau sekitar 700 triliun rupiah. Jumlah ini memang cukup besar, namun masih jauh dari sepertiga dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, yang pada 2021 mencapai 1.088 triliun rupiah. Jadi, sepertiga penguasa ekonomi yang dimaksud oleh Boy Thohir mungkin lebih tepat disebut sebagai sepertiga penguasa bisnis, atau sepertiga penguasa modal, yang memiliki pengaruh besar dalam dunia usaha dan investasi di Indonesia.
Apa Motivasi dan Dampak dari Dukungan Mereka?
Para konglomerat yang mendukung Prabowo-Gibran tentu memiliki motivasi dan kepentingan tersendiri, baik secara pribadi maupun kelompok. Secara pribadi, beberapa di antara mereka mungkin memiliki hubungan dekat atau persahabatan dengan Prabowo atau Gibran, atau merasa memiliki kesamaan visi dan misi dengan mereka. Secara kelompok, mereka mungkin mengharapkan adanya kebijakan yang lebih menguntungkan bagi bisnis dan investasi mereka, atau adanya perlindungan dari persaingan dan regulasi yang tidak menguntungkan. Selain itu, mereka mungkin juga ingin memperkuat posisi dan pengaruh mereka dalam peta politik dan ekonomi Indonesia, yang saat ini masih didominasi oleh kelompok-kelompok lain, seperti keluarga Cendana, kelompok Nahdlatul Ulama, atau kelompok Tionghoa.
Dukungan dari para konglomerat ini tentu memberikan manfaat bagi Prabowo-Gibran, terutama dalam hal pendanaan kampanye, jaringan relasi, dan citra publik. Dengan dukungan mereka, Prabowo-Gibran dapat menggelar kampanye yang lebih besar dan lebih luas, serta memanfaatkan media massa yang dimiliki oleh beberapa konglomerat, seperti MNC Grup dan CT Corp. Selain itu, Prabowo-Gibran juga dapat menggandeng tokoh-tokoh lain yang memiliki hubungan dengan para konglomerat tersebut, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, atau tokoh daerah, yang dapat membantu menggalang suara di berbagai wilayah. Selanjutnya, Prabowo-Gibran juga dapat membangun citra sebagai pasangan yang memiliki dukungan dari kalangan pengusaha, yang dianggap sebagai orang-orang yang sukses, cerdas, dan berpengalaman dalam mengelola ekonomi.
Namun, dukungan dari para konglomerat ini juga memiliki risiko dan tantangan bagi Prabowo-Gibran, terutama dalam hal kredibilitas, independensi, dan kesejahteraan rakyat. Dengan dukungan mereka, Prabowo-Gibran dapat diserang oleh lawan-lawan politiknya, yang akan menuduh mereka sebagai boneka atau antek dari para konglomerat, yang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri, dan tidak peduli dengan nasib rakyat kecil. Selain itu, Prabowo-Gibran juga dapat terjebak dalam konflik kepentingan, yang akan mengikat tangan dan kaki mereka dalam membuat kebijakan yang adil dan transparan, dan tidak berpihak kepada salah satu kelompok saja. Terakhir, Prabowo-Gibran juga dapat mengabaikan aspek kesejahteraan rakyat, yang membutuhkan adanya distribusi kekayaan dan kesempatan yang merata, serta perlindungan dari praktik-praktik monopoli, kartel, atau korupsi yang dilakukan oleh para konglomerat.
Dukungan sepertiga penguasa ekonomi untuk Prabowo-Gibran adalah sebuah fakta yang tidak dapat diabaikan, karena menunjukkan adanya kekuatan dan pengaruh yang besar dari para konglomerat dalam peta politik dan ekonomi Indonesia. Namun, dukungan ini juga bukanlah sebuah jaminan atau kepastian, karena masih ada banyak faktor lain yang mempengaruhi hasil pemilu, seperti suara rakyat, sikap partai politik, dinamika sosial, dan kondisi global.