Anda mungkin pernah mendengar istilah “third culture kid” atau anak budaya ketiga. Istilah ini merujuk pada anak-anak yang tumbuh di luar budaya orang tua mereka, biasanya karena orang tua mereka bekerja atau menetap di negara lain. Anak-anak ini seringkali memiliki identitas yang kompleks dan beragam, karena mereka terpapar oleh budaya-budaya yang berbeda sejak kecil.
Salah satu contoh anak budaya ketiga adalah Rani, seorang gadis berusia 17 tahun yang lahir di Australia dari ayah Indonesia dan ibu Australia. Rani mengaku merasa bingung dengan identitasnya, karena ia merasa tidak sepenuhnya Indonesia maupun Australia. Ia juga menghadapi dilema besar, karena ia harus memilih salah satu kewarganegaraannya saat ia berusia 18 tahun.
“Menurut saya, kewarganegaraan itu bukan hanya soal paspor atau dokumen, tapi juga soal perasaan dan keterikatan. Saya merasa punya hubungan dengan kedua negara, karena saya lahir dan besar di sini, tapi juga punya keluarga dan teman di sana. Saya juga suka budaya dan bahasa kedua negara. Jadi, rasanya sulit sekali untuk memilih salah satu,” kata Rani.
Rani bukanlah kasus yang langka. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perkawinan campuran di Indonesia meningkat dari 2.434 kasus pada tahun 2013 menjadi 4.314 kasus pada tahun 2018. Jumlah ini belum termasuk perkawinan campuran yang terjadi di luar negeri, yang kemungkinan lebih banyak lagi.
Perkawinan campuran ini tentu saja berdampak pada status kewarganegaraan anak-anak yang lahir dari pasangan tersebut. Apakah mereka bisa memiliki kewarganegaraan ganda, atau harus memilih salah satu? Bagaimana aturan kewarganegaraan ganda di Indonesia, dan apa saja tantangan dan keuntungan yang ditimbulkan olehnya?
Aturan Kewarganegaraan Ganda di Indonesia
Kewarganegaraan ganda adalah kondisi di mana seseorang memiliki lebih dari satu kewarganegaraan secara bersamaan. Kewarganegaraan ganda bisa terjadi karena berbagai faktor, seperti tempat lahir, keturunan, perkawinan, naturalisasi, atau adopsi.
Di Indonesia, kewarganegaraan ganda diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan). Dalam penjelasan umum UU ini, disebutkan bahwa Indonesia menganut empat asas kewarganegaraan, yaitu:
- Asas ius sanguinis ( law of the blood), yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
- Asas ius soli ( law of the soil) secara terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Kewarganegaraan.
- Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
- Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Kewarganegaraan.
Dari keempat asas tersebut, dapat dilihat bahwa Indonesia pada dasarnya tidak mengenal adanya kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam UU Kewarganegaraan merupakan suatu pengecualian.
Pengecualian ini diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Kewarganegaraan, yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di dalam atau di luar wilayah Indonesia dari perkawinan yang sah antara seorang ayah atau ibu berkewarganegaraan Indonesia dengan seorang ayah atau ibu berkewarganegaraan asing, menjadi Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing.
Namun, kewarganegaraan ganda ini tidak bersifat permanen. Pasal 23 UU Kewarganegaraan menentukan bahwa dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak yang berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Jika anak tersebut memilih kewarganegaraan Indonesia, maka ia harus melepaskan kewarganegaraan asingnya sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut. Jika anak tersebut memilih kewarganegaraan asing, maka ia kehilangan kewarganegaraan Indonesia.
Tantangan dan Keuntungan Kewarganegaraan Ganda
Mengapa Indonesia tidak mengizinkan kewarganegaraan ganda secara penuh? Salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah untuk menghindari konflik loyalitas dan kewajiban antara dua negara. Misalnya, jika seseorang memiliki kewarganegaraan Indonesia dan Amerika Serikat, maka ia harus membayar pajak kepada kedua negara, dan juga harus mengikuti hukum dan peraturan kedua negara.
Selain itu, kewarganegaraan ganda juga bisa menimbulkan masalah dalam hal perlindungan diplomatik. Misalnya, jika seseorang yang berkewarganegaraan Indonesia dan Australia mengalami masalah hukum di Indonesia, maka ia tidak bisa meminta bantuan dari pemerintah Australia, karena Indonesia menganggapnya sebagai warga negara Indonesia. Sebaliknya, jika ia mengalami masalah hukum di Australia, maka ia tidak bisa meminta bantuan dari pemerintah Indonesia, karena Australia menganggapnya sebagai warga negara Australia.
Namun, kewarganegaraan ganda juga memiliki beberapa keuntungan, terutama bagi mereka yang sering bepergian atau menetap di luar negeri. Misalnya, seseorang yang memiliki kewarganegaraan Indonesia dan Singapura bisa bebas masuk dan keluar dari kedua negara tanpa memerlukan visa. Ia juga bisa menikmati fasilitas dan hak-hak yang diberikan oleh kedua negara, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lain-lain.
Selain itu, kewarganegaraan ganda juga bisa memberikan keuntungan bagi perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya. Misalnya, seseorang yang memiliki kewarganegaraan Indonesia dan Jepang bisa menjadi jembatan kerjasama antara kedua negara, baik dalam hal bisnis, pendidikan, seni, maupun pariwisata. Ia juga bisa menjadi duta budaya yang mempromosikan keanekaragaman dan toleransi antara kedua negara.
Kewarganegaraan ganda adalah suatu fenomena yang semakin banyak ditemui di era globalisasi saat ini. Di Indonesia, kewarganegaraan ganda diatur secara terbatas dan bersyarat, sehingga anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran harus memilih salah satu kewarganegaraannya saat mereka berusia 18 tahun atau sudah kawin.
Kewarganegaraan ganda memiliki tantangan dan keuntungan tersendiri, tergantung pada perspektif dan situasi masing-masing individu. Bagi sebagian orang, kewarganegaraan ganda bisa menjadi suatu keberuntungan, karena mereka bisa memiliki akses dan peluang yang lebih luas di dua negara.