Harga komoditas batu bara dan minyak sawit (CPO) menjadi sorotan pada awal tahun 2024. Pasalnya, kedua komoditas ini mengalami pergerakan yang berbeda di pasar global. Batu bara mengalami rebound setelah melemah dua hari berturut-turut, sementara CPO terus menguat selama tujuh hari berturut-turut.
Apa yang menyebabkan fenomena ini? Apa dampaknya bagi perekonomian Indonesia, yang merupakan salah satu produsen dan eksportir terbesar kedua komoditas ini? Berikut ulasan lengkapnya.
Batu Bara: Rebound Berkat Impor China
Berdasarkan data Bloomberg pada penutupan perdagangan pekan lalu (12/1/2024), harga batu bara berjangka kontrak Januari 2024 di ICE Newcastle ditutup menguat 0,08% atau 0,10 poin ke posisi US$130.85 per metrik ton. Meski demikian dalam sepekan, kontrak ini telah melemah sebesar -0,53%.
Kemudian, kontrak pengiriman Februari 2024 juga menguat sebesar 0,79% atau 1 poin ke level US$127,25 per metrik ton.
Salah satu faktor yang mendorong rebound harga batu bara adalah impor China yang mencapai rekor tertinggi dalam bulanan pada Desember 2023 dengan impor setahun penuh melonjak 61,8% ke rekor tertinggi pada 2023.
China juga mengimpor 47,3 metrik ton batubara pada Desember 2023, naik 9,7% dari bulan sebelumnya lantaran para pembeli menumpuk persediaan menjelang liburan Tahun Baru Imlek, yang dimulai pada 10 Februari 2024.
Suhu dingin yang memecahkan rekor di banyak wilayah di China juga meningkatkan permintaan batu bara. Hal ini mendorong impor pada 2023 mencetak rekor hingga mencapai 474,42 juta ton, lebih tinggi dari ekspektasi analis sebesar 460 juta-470 juta ton untuk setahun penuh.
Namun, rebound harga batu bara ini diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Pasalnya, China pada Desember 2023 juga menerapkan kembali tarif impor batu bara sebesar 3%-6% untuk negara-negara yang tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas bilateral.
Selain itu, beberapa analis berpendapat bahwa impor tahun ini bisa turun dari rekor tertinggi pada tahun lalu, jika peningkatan pembangkit listrik terbarukan terus memenuhi sebagian besar pertumbuhan permintaan listrik.
CPO: Hijau Terus Berkat Permintaan India
Sementara itu, harga crude palm oil (CPO) alias minyak sawit terus menunjukkan tren positif. Harga CPO di bursa derivatif Malaysia pada Februari 2024 menguat 57 poin menjadi 3,831 ringgit per metrik ton. Dalam sepekan, kontrak ini telah menguat sekitar 4,24%.
Kemudian, kontrak Maret 2024 menguat 60 poin menjadi 3,854 ringgit per metrik ton, dan telah menguat sekitar 4,73%.
Faktor utama yang mendongkrak harga CPO adalah permintaan India yang meningkat. India merupakan negara importir CPO terbesar di dunia, yang mengonsumsi sekitar 10 juta ton CPO per tahun.
Menurut data Asosiasi Minyak Nabati India (SEA), impor CPO India pada Desember 2023 naik 11% menjadi 1,02 juta ton dibandingkan November 2023. Impor CPO India pada 2023 mencapai 9,3 juta ton, naik 64% dari 2022.
Permintaan CPO India diprediksi akan terus meningkat pada 2024, seiring dengan pemulihan ekonomi dan peningkatan konsumsi rumah tangga. Selain itu, India juga memberlakukan bea masuk yang lebih rendah untuk CPO dari negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia dan Malaysia.
Dengan demikian, harga CPO diharapkan akan tetap tinggi pada kisaran 3,500-4,000 ringgit per metrik ton pada kuartal pertama 2024.
Dampak bagi Indonesia
Pergerakan harga komoditas batu bara dan CPO tentu berpengaruh bagi perekonomian Indonesia, yang merupakan salah satu produsen dan eksportir terbesar kedua komoditas ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada November 2023, batu bara dan CPO merupakan dua komoditas utama nonmigas yang memberikan kontribusi terbesar terhadap ekspor Indonesia.
Batu bara menyumbang US$ 2,69 miliar atau 11,14% dari total ekspor, sementara CPO menyumbang US$ 1,64 miliar atau 6,77% dari total ekspor.
Dengan demikian, jika harga batu bara dan CPO mengalami perubahan signifikan, maka akan berdampak pada kinerja neraca perdagangan Indonesia.
Sejumlah ekonom memprediksi neraca perdagangan Indonesia akan tetap mencatatkan surplus pada Desember 2023, meskipun trennya akan menurun akibat harga komoditas batu bara dan CPO yang tertekan.
Menurut survei Bank Indonesia, neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2023 diperkirakan surplus US$ 1,5 miliar, turun dari US$ 2,4 miliar pada November 2023.
Sementara itu, menurut survei Reuters, neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2023 diperkirakan surplus US$ 1,8 miliar, turun dari US$ 2,6 miliar pada November 2023.
Penurunan surplus neraca perdagangan ini disebabkan oleh kontraksi ekspor yang lebih besar dibandingkan dengan kontraksi impor.
Ekspor Indonesia pada Desember 2023 diperkirakan turun 8,5% secara tahunan, sementara impor Indonesia diperkirakan turun 0,6% secara tahunan.
Meskipun demikian, sepanjang tahun 2023, neraca perdagangan Indonesia diproyeksi mencetak surplus US$ 35,5 miliar, meningkat dari US$ 21,7 miliar pada 2022.
Surplus neraca perdagangan ini akan menjadi salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023, yang diperkirakan mencapai 5,3%.
Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang Anda butuhkan. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.