// Perutku mules, wahai wakil rakyat kami yang baru, kamu harus dengar suara ini, suara yang keluar dari dalam goa, goa yang bau kekuning-kuningan (dubur). // begitulah suara penyanyi bermulut WC di Cafe kala itu.
Selalu, setiap aku lewat, muka Caleg terpampang di samping kanan atau kiri jalan itu. Baik dalam ukuran mini ataupun ukuran jumbo. Banyak diantaranya adalah Caleg muda, bergelar sarjana. Aku tidak begitu detail memperhatikan, wong bisa jadi aku pun tidak akan pernah memilihnya.
Kau tahu, jalan yang aku lewati sudah bergelombang, bersisik dan berlubang-lubang. Jalan itu pun menyumbang faktor sekian persen kerusakan, iya pada motor saya minimal rangkanya. Motor itu dibuat dijepang, tidak untuk melewati jalan separah itu.
Jadi setiap aspal yang tidak layak diinjak ban atau kaki telanjang, poster itu selalu ada. Hampir seperti hantu-hantu. Kapan jalan itu akan diperbaiki, aku tidak tahu, tafsiranku jika mereka diantara hantu-hantu itu terpilih, dan rusak saat salah satu-dua-tiga-empat-lima dan seterusnya diantara mereka kaya; dari bisnis suara rakyat.
Suara rakyat yang tidak mungkin suara tuhan itu terkadang tidak pernah berbunyi seperti kalamullah. Cukup kendaraan motor hasil kredit dua tahun lamanya, di salah satu dealer di pinggiran kota. Sebelum selesai cicilannya sudah merengek-rengek minta ganti ban, minta di-service.
Aku tentu tahu betul bagaimana perasaan motorku. Kenalpotnya yang berbicara, atasnama suara rakyat. Aku juga tahu, kalau persoalan aspal yang menghambat perjalananku pulang kampung itu tidak ada urusannya dengan legislatif apalagi caleg. Buang jauh-jauh pikiran yang menganggap saya mengeluh lalu menyalahkan mereka; tidakkah lebih baik jalan itu dibiarkan tanah, sebab jarang duri yang bisa menembus ban kecuali ‘paku’.
Lalu aku melihat, bagaimana caleg muda itu tersenyum yang dibuat-buat seperti permintaan sang fotografer. Hasil foto terbagus ditambah sedikit polesan Sotosop, tampak bahwa muka mereka rata-rata sebenarnya jelak.
Kan bukan artis?, rata-rata di bawah saya, xixixi.. Ingin sekali ku sobek mukanya dengan nyinyir, atau kuprogram ulang isi kepalanya dan men-delete keinginan buruk menjadi wakil rakyat.
Ini serius!
Partai politik memang sedang membidik anak muda, dipinang menjadi caleg untuk mendulang suara dari golongan milenial. Anak muda dinilai memiliki pamor yang tidak redup, banyak orang pun sudah tidak peduli apalagi melirik saja caleg tua yang setiap Pileg mukanya orang itu-itu saja. Sungguh membosankan.
KPU memperkirakan terdapat setidaknya 80-100 juta dengan usia kurang dari 40 tahun pada pemilu 2019. Perkiraan itu bisa mencapai 50% dari total pemegang hak suara yang berjumlah 190 juta orang.
Caleg muda harus menggantikan yang tua, duduk dikursi dewan memikirkan nasib rakyat. Duduk saja, memikirkan saja, lainnya dia adaptasi dengan lingkungan birokrasi yang lama. Memakan keuntungan yang menjadi haknya, sekejap saja sudah kaya raya dibandingkan dengan anak-anak muda lainnya yang masih pusing kesana-sini melamar kerja tak kunjung diterima.
Menjadi anggota legislatif tidak butuh kemampuan khusus, keterampilan dan wawasan yang luas. Cukupnya biaya, yang penting menang di Pileg.
Ironisnya, mereka yang muda hanya dijadikan tumbal kepentingan atau penerus perjuangan orang tuanya atau kerabat dekatnya. Turun temurun, kalau bisa sampai cucu ke cucu, duduk dikursi dewan. Mereka bertarung untuk mempertahankan pengaruh politik keluarga, tapi ada pula yang sekedar mengadu nasib.
Sebagai golongan milenial, aku bersampah untuk tidak memilih, gambar mukanya harap jangan sampai kuingat-ingat. Bagiku satu suara di TPS seharga dengan biaya booking artis nyambi PSK. Aku tidak memilih pengangguran sebagai wakil rakyat. Bagaimana mungkin, caleg muda itu baru lulus kuliah, nyaleg, masih amatir dan buta terhadap masalah sosial yang sedang terjadi.
Dia pengangguran dan profesinya sebagai wakil rakyat.
Jadi, Caleg muda bisa apa sih, Kalangan elite parpol pun mengakui, selama ini belum cukup untuk menciptakan kader yang sebenarnya hanya dengan cara kaderisasi instan seperti forum dan seminar. Banyak kader yang sebenarnya belum siap menjadi pejabat politik. Apalagi, realitas politik di Indonesia saat ini, orang masuk ke parpol umumnya orang yang mempunyai uang dan ambisi kekuasaan.
Caleg muda termasuk kader dadakan yang direkrut, sret-sret-sret ujug-ujug nongol mukanya di kanan-kiri jalan. Kader prematur itu bukan yang teruji memiliki ‘pengalaman baik’ dalam bidang sosial kemasyarakatan dan politik, diukur dengan ijazah S1. Pengalaman baik itu umumnya dilupakan oleh parpol.
Dari 20 partai politik, ada 7.968 orang yang tercantum dalam daftar caleg yang mengikuti Pileg 2019. Jumlah sebanyak ini mubazir, buang-buang duit sedangkan kerjanya tidak signifikan, karena sebagian banyak sudah diwakili oleh media sosial sebagai piranti penyampai keluhan kritik saran untuk pemerintah. Kendati tidak hanya itu tugas DRR, pekerjaannya bisa dihandel tenaga freelancer yang siap mengerjakan hal ini.
7.968 orang jika 50 % nya saja menjadi pengusaha, angka pengangguran menurun dratis. Percaya deh sama Tuhan, bahwa pekerjaan paling mulia di muka bumi bukan menjadi DPR, tapi menjadi pengusaha. Lebih berdampak dari hanya sekedar janji-janji manis saat kampanye. Hidup pengusaha!
Memang ada pengusaha yang akhirnya terjun ke dunia politik dan itu tidak masalah. Menjadi pejabat publik itu soal pengabdian kepada bangsa, bukan sekedar pekerjaan get money. Jika kerjanya bagus, kesejahteraan hanyalah reward atas pengabdiannya. Bahkan bisnis pun demikian , berbisnis dengan menjual barang sejatinya helping people.
So, setelah niat diperbaiki, majulah ke kursi legislatif dengan bismillah. Selaraskan niat dengan mental, wujudkan dalam tindakan, jika tidak maka caleg muda sama saja, sama-sama calon koruptor di masa mendatang. Tolong kasihani motor saya!