Pak Tani: Hidup Menderita, Mati pun Terlupakan!

Noer Huda By Noer Huda
3 Min Read
Hidup Menderita, Mati pun Terlupakan!
Hidup Menderita, Mati pun Terlupakan!

jfid – Tatkala matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur, jiwaku terasa berat menghadapi hari yang baru.

Langkahku menuju sawah terasa begitu berat, seperti membawa beban yang tak terlalu terlihat.

Di hadapan mataku, hamparan tanah yang subur terbentang luas, mengundangku untuk menapaki setiap langkah dengan hati yang penuh harap.

Pak Tani, sosok yang tak pernah lelah menghadapi kerasnya hidup, kini tampak terkulai lemas di antara barisan pohon kelapa yang rimbun.

- Advertisement -

Dibalut kain kumal yang telah usang, dia terduduk dengan pandangan kosong, seolah melihat sesuatu yang jauh di sana.

Tangan-tangannya yang kasar menopang kepalanya, seolah menahan beban pikiran yang begitu berat.

Kupandangi dengan seksama wajah lelah Pak Tani, dan tak bisa kuabaikan raut duka yang begitu kental terpancar dari matanya.

Di usianya yang sudah senja, dia seharusnya dapat menikmati kebahagiaan bersama keluarganya.

Namun, kenyataannya begitu pahit, bahwa mereka harus terus merasakan getirnya hidup.

- Advertisement -

“Hari ini panen berlimpah, tapi hatiku hampa,” gumam Pak Tani pelan, suaranya terbawa angin pagi yang mengusik daun-daun pohon.

Sosok yang begitu tegar, kini terlihat rapuh di hadapanku. Ironis memang, ketika hasil panen melimpah namun perut mereka terus bergelora karena kelaparan.

Pendapatannya? Hanya secuil dari yang bisa kau bayangkan. Menurut data Ombudsman pada tahun 2017, pendapatan Petani hanya Sekitar Rp150.000 per bulan, tak lebih dari sekedar uang saku anak-anak muda di kota besar.

- Advertisement -

Sungguh miris melihat betapa rendahnya angka itu, dan lebih miris lagi, bahwa angka tersebut tak pernah beranjak dari tempatnya, bagai kutukan yang terus menghantui kehidupan mereka.

Sementara itu, di balik tembok-tembok beton kota, kehidupan berjalan dengan gemerlap. Upah minimum di kota-kota besar telah mencapai angka yang begitu fantastis, Rp4.600.000 per bulan.

Ironisnya, mereka yang terus menyantap nasi, tak pernah bertanya dari mana asal nasi tersebut, siapa yang menanamnya, siapa yang merawatnya.

Pertanian di negeri ini, begitu luas dan subur. Potensi panen tak terbatas, namun mengapa nasib petani tak kunjung membaik?

Mesin-mesin canggih telah memudahkan tugas mereka, namun mengapa mereka tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan?

Pemerintah? Ah, jangan harap terlalu banyak. Janji manis selalu diucapkan, namun jarang terealisasi.

Harga pupuk terus melambung tinggi, akses ke pasar semakin terhambat, dan jerih payah mereka tak pernah dihargai sepadan.

Petani, pahlawan yang tak pernah mendapat tanda jasa. Bertani bukan lagi pilihan, tapi keterpaksaan.

Di tengah kelaparan dan ketidakadilan, mereka terus bertahan, menanam padi, demi sesuap nasi untuk keluarga mereka.

Sampai kapan?

Sampai kita, yang terus menikmati hidangan lezat dari hasil panen mereka, membuka mata.

Sampai kita sadar, bahwa di setiap butir nasi yang kita makan, terdapat keringat dan jerih payah mereka.

Share This Article