Hipnotis adalah sebuah keahlian yang dapat membuat seseorang berada dalam keadaan seperti tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Hipnotis dapat digunakan untuk berbagai tujuan, baik positif maupun negatif. Salah satu tujuan negatif yang sering terjadi adalah kejahatan dengan hipnotis, yaitu mengambil barang orang lain tanpa hak dengan menggunakan tindakan hipnotis.
Kejahatan dengan hipnotis sering kali menimbulkan kerugian bagi korbannya, baik materiil maupun immateriil. Namun, apakah pelaku kejahatan dengan hipnotis dapat dituntut secara hukum? Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan dengan hipnotis? Apa sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku kejahatan dengan hipnotis?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mudah dijawab, karena dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak ada satupun pasal yang mengatur secara spesifik mengenai kejahatan dengan hipnotis atau hipnosis. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum dan praktisi hukum mengenai hal ini.
Pendapat Pertama: Penganiayaan Ringan
Pendapat pertama menyatakan bahwa kejahatan dengan hipnotis tidak bisa dijerat dengan delik penipuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan lebih tepat bila dikenakan delik membuat sakit orang, yaitu penganiayaan ringan. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman bahwa untuk delik penipuan, korbannya harus dalam keadaan sadar, sedangkan dalam hipnotis, korbannya dibuat dalam keadaan tidak sadar.
Penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja membuat sakit orang atau menimbulkan luka-luka, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Penganiayaan ringan termasuk kejahatan ringan, yang tidak memenuhi syarat sebagai penganiayaan berat, yaitu:
- Menyebabkan luka berat;
- Menyebabkan sakit berat atau lumpuh;
- Menyebabkan hilangnya indra, anggota badan, kemampuan, atau kematian.
Contoh penganiayaan ringan adalah memukul, menampar, mencubit, atau melukai orang lain tanpa menyebabkan luka atau sakit yang parah. Dalam konteks hipnotis, pelaku dapat dianggap telah membuat sakit orang lain dengan cara mengganggu kesehatan jiwa atau mental korban, yang dapat berdampak pada kesehatan fisik korban.
Pendapat Kedua: Penipuan
Pendapat kedua menyatakan bahwa kejahatan dengan hipnotis termasuk dalam delik penipuan, karena tujuan pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, dengan cara menggerakkan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang, dengan menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman bahwa hipnotis adalah salah satu bentuk tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, yang membuat korbannya melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya.
Penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Penipuan termasuk kejahatan terhadap harta benda, yang mengakibatkan kerugian bagi korbannya. Contoh penipuan adalah berpura-pura menjadi pegawai bank, polisi, atau pejabat, dan meminta uang, barang, atau data pribadi dari korban. Dalam konteks hipnotis, pelaku dapat dianggap telah menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang dengan cara memberikan sugesti atau perintah yang tidak sesuai dengan kehendak korban.
Dari dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan dengan hipnotis adalah sebuah fenomena hukum yang belum memiliki kepastian hukum yang jelas. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam penegakan hukum, karena dapat menimbulkan ketidaksesuaian antara fakta, hukum, dan keadilan. Oleh karena itu, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik mengenai kejahatan dengan hipnotis, agar dapat memberikan perlindungan hukum bagi korban dan sanksi hukum yang proporsional bagi pelaku.
Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang Anda butuhkan. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.