Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam, yang dibuktikan dengan sertifikat halal. Sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal tertulis atau penetapan kehalalan produk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau lembaga lain yang ditunjuk oleh MUI.
Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU 33/2014). UU ini mengamanatkan penyelenggaraan jaminan produk halal sebagai tanggung jawab pemerintah yang dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Namun, UU 33/2014 mengalami sejumlah perubahan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang bertujuan untuk meningkatkan investasi, memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Salah satu perubahan yang terkait dengan jaminan produk halal adalah penghapusan kewajiban pencantuman label halal pada produk yang tidak halal.
Perubahan ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, terutama dari kalangan pelaku usaha, konsumen, dan ulama. Bagi pelaku usaha, perubahan ini dianggap memberikan kemudahan dan fleksibilitas dalam mengurus sertifikat halal dan menghemat biaya produksi. Bagi konsumen, perubahan ini dianggap mengurangi hak dan perlindungan mereka dalam mendapatkan informasi yang jelas dan akurat tentang kehalalan produk. Bagi ulama, perubahan ini dianggap mengabaikan aspek syariat dan mengancam kesejahteraan umat Islam.
Dalam artikel ini, kami akan mengulas lebih lanjut mengenai ketentuan penyelenggaraan jaminan produk halal, tantangan dan peluang yang dihadapi oleh berbagai pemangku kepentingan, serta harapan dan saran untuk meningkatkan kualitas dan kredibilitas jaminan produk halal di Indonesia.
Ketentuan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
Penyelenggaraan jaminan produk halal meliputi rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Penyelenggaraan jaminan produk halal dilakukan oleh BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
BPJPH memiliki kewenangan untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan, norma, standar, prosedur, dan kriteria jaminan produk halal; menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk; melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri; melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal; melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH); melakukan registrasi auditor halal; melakukan pengawasan terhadap jaminan produk halal; melakukan pembinaan auditor halal; dan melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan jaminan produk halal.
Dalam melaksanakan kewenangannya, BPJPH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, LPH, dan MUI, termasuk MUI yang ada di provinsi, kabupaten/kota dan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, selain kerja sama itu BPJPH dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi. Kerja sama ini dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing pihak.
LPH adalah lembaga yang melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian produk untuk menentukan kehalalan produk. LPH dapat berbentuk badan hukum atau unit kerja yang dibentuk oleh perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi pelaku usaha, atau pelaku usaha. LPH harus mendapatkan akreditasi dari BPJPH sebelum melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian produk.
Auditor halal adalah orang yang memiliki kompetensi di bidang kehalalan produk dan ditugaskan oleh LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian produk. Auditor halal harus mendapatkan registrasi dari BPJPH sebelum melaksanakan tugasnya.
MUI adalah lembaga yang melakukan penetapan kehalalan produk berdasarkan fatwa halal tertulis atau penetapan kehalalan produk. MUI dapat mendelegasikan kewenangannya kepada MUI provinsi, MUI kabupaten/kota, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, atau Komite Fatwa Produk Halal.
Produk yang wajib bersertifikat halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Produk yang tidak halal adalah produk yang mengandung unsur yang diharamkan menurut syariat Islam, seperti babi, anjing, bangkai, darah, khamr, dan najis.
Pelaku usaha yang memproduksi, mengolah, menyimpan, mengemas, mendistribusikan, menjual, atau menyajikan produk yang wajib bersertifikat halal harus mengajukan permohonan sertifikat halal kepada BPJPH dengan melampirkan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, dan pengolahan produk. Pelaku usaha juga harus memisahkan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal.
Pelaku usaha mikro dan kecil yang memproduksi produk yang wajib bersertifikat halal dapat mendapatkan kemudahan sertifikasi halal dengan cara menyampaikan pernyataan halal yang berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH. Pelaku usaha mikro dan kecil yang memenuhi standar halal tersebut akan mendapatkan sertifikat halal tanpa dipungut biaya. Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan menurut syariat Islam dikecualikan dari kewajiban mengajukan permohonan sertifikat halal, namun diwajibkan untuk mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan, pelaku usaha dikenai sanksi administratif yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.