Konflik antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza kembali memanas sejak awal November 2023. Serangan udara, roket, dan rudal saling menghujani kedua belah pihak, menimbulkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Namun, apakah konflik ini dapat dikategorikan sebagai perang atau pendudukan? Dan bagaimana hukum humaniter internasional berlaku dalam situasi ini?
Konflik Israel-Hamas memiliki latar belakang yang panjang dan kompleks. Hamas adalah sebuah gerakan Islamis yang berpusat di Jalur Gaza, sebuah wilayah yang diduduki Israel sejak 1967. Hamas didirikan pada tahun 1987 sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi Islam transnasional yang berbasis di Mesir. Hamas menentang keberadaan Israel dan mengklaim hak atas seluruh tanah Palestina, termasuk Yerusalem Timur. Hamas juga menganggap dirinya sebagai perwakilan rakyat Palestina yang berjuang melawan penjajahan dan penindasan Israel.
Israel, di sisi lain, menganggap Hamas sebagai organisasi teroris yang mengancam keamanan dan kedaulatan negaranya. Israel menuduh Hamas menggunakan warga sipil Gaza sebagai perisai manusia dan menyembunyikan senjata di fasilitas sipil, seperti rumah sakit, sekolah, dan masjid. Israel juga menuduh Hamas mendapat dukungan dari Iran, negara musuh Israel di Timur Tengah.
Konflik Israel-Hamas telah meletus beberapa kali sejak tahun 2006, ketika Hamas memenangkan pemilihan umum di Palestina dan mengambil alih pemerintahan di Jalur Gaza. Israel kemudian memberlakukan blokade ekonomi dan militer terhadap Jalur Gaza, membatasi pergerakan orang dan barang keluar masuk wilayah tersebut. Blokade ini dikritik oleh banyak negara dan organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, dan Komite Palang Merah Internasional, sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.
Namun, apakah konflik Israel-Hamas dapat disebut sebagai perang atau pendudukan? Dan bagaimana hukum humaniter internasional berlaku dalam situasi ini?
Hukum humaniter internasional adalah cabang hukum internasional yang mengatur perilaku para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata, baik antarnegara maupun dalam negeri. Hukum humaniter internasional bertujuan untuk melindungi orang-orang yang tidak atau tidak lagi berpartisipasi dalam permusuhan, seperti warga sipil, tawanan perang, dan korban luka, serta untuk membatasi cara dan sarana yang digunakan dalam perang, seperti senjata, target, dan taktik.
Hukum humaniter internasional terdiri dari berbagai instrumen hukum, baik yang bersifat perjanjian maupun kebiasaan. Salah satu instrumen utama adalah Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977, yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia, termasuk Israel dan Palestina. Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 membedakan dua jenis konflik bersenjata, yaitu konflik bersenjata internasional (International Armed Conflict/IAC) dan konflik bersenjata non-internasional (Non-International Armed Conflict/NIAC).
IAC adalah konflik yang melibatkan dua negara atau lebih, atau konflik yang melibatkan rakyat yang berperang melawan dominasi kolonial, pendudukan asing, atau pemerintahan rasialis. NIAC adalah konflik yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, antara negara dengan kelompok bersenjata terorganisir, atau antara kelompok bersenjata terorganisir itu sendiri.
Klasifikasi konflik bersenjata sangat penting, karena menentukan ruang lingkup dan tingkat perlindungan yang diberikan oleh hukum humaniter internasional. Secara umum, IAC memiliki standar perlindungan yang lebih tinggi dan lebih komprehensif daripada NIAC. Misalnya, dalam IAC, semua tawanan perang harus diperlakukan dengan hormat dan tidak boleh ditahan secara sewenang-wenang, sementara dalam NIAC, tidak ada status khusus untuk tawanan perang. Demikian pula, dalam IAC, semua warga sipil yang berada di bawah kekuasaan pihak lawan harus diperlakukan dengan adil dan tidak boleh didiskriminasi, sementara dalam NIAC, tidak ada kewajiban untuk melindungi warga sipil dari pihak lawan.
Lalu, bagaimana dengan konflik Israel-Hamas? Apakah termasuk IAC atau NIAC?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, karena tergantung pada beberapa faktor, seperti status hukum Palestina, sifat dan intensitas konflik, serta keterlibatan pihak ketiga. Berikut adalah beberapa pandangan yang berbeda dari para ahli hukum internasional:
- Menurut Andrey Sujatmoko, seorang pakar hukum humaniter internasional dari Universitas Indonesia, konflik Israel-Hamas dapat dikategorikan sebagai IAC, karena Palestina telah mendapat pengakuan sebagai negara oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum 3236 pada tahun 1974, yang mengakui hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan nasional. Selain itu, mengingat banyaknya indikasi seputar peran negara asing dalam konflik bersenjata ini, seperti Iran, Amerika Serikat, dan Mesir, maka konflik Israel-Hamas dapat dianggap sebagai konflik antarnegara.
- Menurut Arlina Permanasari, seorang peneliti hukum humaniter internasional dari International Committee of the Red Cross (ICRC), konflik Israel-Hamas dapat dikategorikan sebagai NIAC, karena Hamas bukan merupakan angkatan bersenjata resmi dari Palestina, melainkan sebuah kelompok bersenjata non-negara yang beroperasi secara independen dari otoritas Palestina. Selain itu, konflik Israel-Hamas tidak memenuhi kriteria intensitas dan organisasi yang diperlukan untuk menjadi IAC, seperti adanya pernyataan perang, pengakuan sebagai lawan perang, atau kendali teritorial yang signifikan.
- Menurut Diajeng Wulan Christianti, seorang dosen hukum internasional dari Universitas Gadjah Mada, konflik Israel-Hamas dapat dikategorikan sebagai IAC atau NIAC, tergantung pada apakah tindakan Hamas dapat dikaitkan dengan Palestina atau tidak. Jika Hamas dapat dianggap sebagai perwakilan atau agen dari Palestina, maka konflik tersebut dapat dianggap sebagai IAC. Namun, jika Hamas tidak dapat dianggap sebagai perwakilan atau agen dari Palestina, maka konflik tersebut dapat dianggap sebagai NIAC.
Dari berbagai pandangan di atas, dapat dilihat bahwa klasifikasi konflik Israel-Hamas tidaklah sederhana, dan membutuhkan kajian yang mendalam dan komprehensif. Klasifikasi konflik bersenjata juga dapat berubah seiring dengan perkembangan situasi dan fakta di lapangan. Oleh karena itu, penting bagi para pihak yang terlibat dalam konflik, maupun bagi masyarakat internasional, untuk memahami dan menghormati hukum humaniter internasional, baik dalam IAC maupun NIAC, demi melindungi martabat dan kemanusiaan dari semua korban konflik.