jlk – Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Desember 2023 mencapai US$146,4 miliar, tertinggi sejak September 2021.
Namun, kinerja cadangan devisa pada tahun ini akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed.
Cadangan devisa Indonesia pada Desember 2023 naik US$8,3 miliar dari posisi akhir November 2023 yang sebesar US$138,1 miliar.
Kenaikan ini antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa, serta penarikan pinjaman luar negeri pemerintah.
Menurut Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Cadangan devisa tersebut juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
“BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” kata Erwin dalam siaran pers, Senin (8/1/2024).
Erwin menambahkan, BI juga memandang cadangan devisa akan tetap memadai, yang didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan respons bauran kebijakan yang ditempuh BI dan pemerintah dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Hal tersebut sejalan dengan berbagai instrumen moneter yang BI terbitkan pada tahun lalu untuk menopang ketahanan eksternal dan stabilitas rupiah.
Beberapa instrumen tersebut antara lain Surat Berharga Negara (SBN) Valas, Surat Perbendaharaan Negara (SPN) Valas, dan Surat Utang Negara (SUN) Valas.
Lantas, bagaimana proyeksi cadangan devisa pada tahun ini? Menurut beberapa ekonom, cadangan devisa Indonesia akan sangat bergantung pada perkembangan ekonomi global dan langkah-langkah yang diambil The Fed.
The Fed merupakan bank sentral AS yang memiliki pengaruh besar terhadap arus modal global, termasuk ke Indonesia.
The Fed memiliki mandat untuk menjaga stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi AS, yang salah satunya dilakukan dengan menetapkan suku bunga acuan.
Suku bunga acuan The Fed berpengaruh terhadap ekspektasi inflasi, nilai tukar dolar AS, dan imbal hasil obligasi AS.
Ketiga hal tersebut berdampak pada minat investor asing untuk menanamkan modalnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pada tahun 2022 dan awal 2023, The Fed menaikkan suku bunga acuannya secara agresif untuk menurunkan inflasi yang sempat mencapai rekor tertinggi dalam 40 tahun.
Namun, sejak Juli 2023, The Fed telah mempertahankan suku bunga di kisaran 5,25%-5,5%.
Para pengambil kebijakan The Fed pada Desember 2023 memberi sinyal bahwa pihaknya telah melihat cukup banyak kemajuan dalam inflasi, yang mungkin dapat dicapai dengan kenaikan suku bunga dan beralih ke penurunan suku bunga pada tahun ini.
Namun, belum jelas kapan dan seberapa besar The Fed akan menurunkan suku bunga.
Hal ini menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan global, yang berpotensi menimbulkan volatilitas bagi mata uang dan cadangan devisa negara-negara berkembang.
Teuku Riefky, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, mengatakan bahwa rupiah, seperti banyak mata uang negara berkembang, memiliki banyak prospek sumber volatilitas pada tahun ini.
“Stabilitas rupiah dan cadev akan sangat bergantung dari perkembangan ekonomi global dan langkah-langkah yang diambil The Fed. Melihat cadev saat ini, kita memiliki modal yang cukup besar untuk melakukan intervensi sekiranya dibutuhkan untuk stabilisasi rupiah,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (8/1/2024).
Menurutnya, berbagai instrumen yang BI keluarkan untuk menjaga rupiah sepanjang 2023 mampu menopang rupiah sehingga lebih unggul dari negara peers lainnya.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup melemah ke level Rp15.525 per dolar AS pada perdagangan awal pekan, Senin, (8/1/2024).
“Secara keseluruhan, kami memperkirakan cadangan devisa pada 2024 akan mencapai sekitar US$150-US$155 miliar, melampaui perkiraan kami sebelumnya sebesar US$148 miliar,” jelasnya.
Sementara itu, Piter Abdullah, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, memperkirakan bahwa rupiah akan lebih stabil dan memiliki peluang untuk menguat, namun dengan syarat apabila The Fed menurunkan suku bunga.
“Jika The Fed menurunkan suku bunga, maka akan ada arus modal masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini akan mendongkrak cadangan devisa dan menguatkan rupiah,” katanya.
Piter menjelaskan bahwa secara historis, cadangan devisa lebih dipengaruhi oleh besarnya pencairan dan pembayaran utang luar negeri, serta kebijakan intervensi ketika ada tekanan terhadap rupiah.
“Dengan pertimbangan itu cadev diperkirakan tidak akan banyak mengalami perubahan ketika tekanan pelemahan terhadap rupiah tidak banyak terjadi,” jelasnya.
Piter memproyeksikan cadangan devisa Indonesia pada 2024 akan berada di kisaran US$145-US$150 miliar, dengan asumsi The Fed menurunkan suku bunga sebesar 0,25% pada semester kedua tahun ini.