Mengenang Peristiwa Malari 1974, Demonstrasi Besar Protes Orde Baru

Alvin Karunia By Alvin Karunia
9 Min Read
Mengenang Peristiwa Malari 1974, Demonstrasi Besar Protes Orde Baru

Pada 15 Januari 2024, tepat 50 tahun yang lalu, Jakarta menjadi saksi sejarah peristiwa yang mengguncang Indonesia. Peristiwa Malari, singkatan dari Malapetaka 15 Januari, adalah demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh aktivis dan mahasiswa untuk menentang kebijakan pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, yang dianggap pro-modal asing, korup, dan otoriter.

Demonstrasi yang awalnya berlangsung damai, berubah menjadi kerusuhan besar yang melibatkan massa, aparat, dan pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, puluhan orang tewas, ratusan luka-luka, ribuan ditangkap, dan kerugian materi mencapai miliaran rupiah.

Apa yang melatarbelakangi peristiwa Malari? Siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat? Dan apa dampaknya bagi Indonesia? Artikel ini akan mengulas secara mendalam, jelas, jernih, jenaka, faktual, dan akurat, tentang peristiwa yang menjadi titik balik dalam sejarah Indonesia.

Latar Belakang: Ketidakpuasan Terhadap Modal Asing

Peristiwa Malari dipicu oleh ketidakpuasan para aktivis dan mahasiswa terhadap kebijakan Orde Baru yang pro-modal asing, terutama dari Jepang. Sejak awal 1970-an, Indonesia mengalami sejumlah aksi protes terhadap investasi Jepang, yang terutama terfokus pada proyek-proyek industri besar yang melibatkan perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia.

- Advertisement -

Beberapa faktor dan isu yang menyebabkan aksi protes tersebut, antara lain:

  • Ketidakpuasan terhadap pengelolaan sumber daya alam dan ketidaksetaraan. Protes terhadap investasi Jepang kerap dikaitkan dengan ketidakpuasan terhadap cara pemerintah Indonesia dan perusahaan Jepang mengelola sumber daya alam. Beberapa proyek industri besar, terutama dalam sektor pertambangan dan perkebunan, dianggap merugikan lingkungan dan merampas hak-hak tanah dari masyarakat lokal. Protes juga muncul karena terdapat ketidaksetaraan dalam pembagian hasil ekonomi. Aktivis menilai bahwa investasi asing lebih mendukung kepentingan korporasi dan pemerintahan Orde Baru daripada kepentingan rakyat.
  • Kondisi kerja dan hak pekerja. Aksi protes juga mencakup isu-isu terkait kondisi kerja di perusahaan-perusahaan Jepang. Pekerja sering kali mengeluhkan upah rendah, kondisi kerja yang buruk, dan kurangnya perlindungan terhadap hak-hak pekerja.
  • Imperialisme ekonomi. Sebagian aktivis dan mahasiswa melihat investasi Jepang sebagai bentuk imperialisme ekonomi, dimana perusahaan Jepang dianggap memanfaatkan ekonomi Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri.
  • Ketergantungan ekonomi. Penentangan terhadap investasi asing, termasuk di dalamnya dari Jepang, juga berkaitan dengan keprihatinan terhadap ketergantungan ekonomi Indonesia pada modal asing. Para aktivis merasa bahwa Indonesia seharusnya memiliki kontrol lebih besar terhadap ekonominya sendiri, tanpa terlalu tergantung pada modal asing.

Aksi protes juga mencerminkan kritik terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap terlalu bersahabat dengan perusahaan-perusahaan asing, termasuk perusahaan Jepang. Presiden Soeharto dinilai terlalu mendukung investasi asing, tanpa memperhatikan kepentingan rakyat.

Pemicu: Kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka

Pada 14 Januari 1974, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka tiba di Jakarta untuk melakukan kunjungan resmi selama empat hari. Kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian kunjungan Tanaka ke beberapa negara Asia Tenggara, yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan Jepang dengan negara-negara tersebut, setelah Perang Dunia II.

Namun, kunjungan Tanaka ini tidak disambut baik oleh para aktivis dan mahasiswa Indonesia, yang menganggapnya sebagai simbol dari dominasi modal Jepang di Indonesia.

Mereka merencanakan untuk menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Bandara Halim Perdanakusuma, tempat Tanaka mendarat.

- Advertisement -

Sebelumnya, pada 11 Januari, Presiden Soeharto menerima delegasi Dewan-Dewan Mahasiswa. Para perwakilan mahasiswa menyampaikan kecaman dan mempertanyakan kewibawaan presiden, yang dirongrong tingkah laku para pemimpin yang memperkaya diri.

Mereka menilai operasi khusus atau opsus yang dipimpin Ali Moertopo memiliki kekuasaan yang terlampau besar melebihi pemerintah dan parlemen.

Pertemuan antara delegasi mahasiswa dan Presiden Suharto tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Kemudian mahasiswa melalui sebuah Apel Siaga Mahasiswa di kampus Universitas Kristen Indonesia pada 12 Januari 1974 mengajak masyarakat untuk menyambut Perdana Menteri Jepang dengan gerakan aksi.

- Advertisement -

Saat itu, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI) Hariman Siregar mengatakan, akan ada gerakan penyambutan Perdana Menteri Tanaka untuk memberitahu dunia bahwa bangsa Indonesia masih memiliki harga diri bangsa dan masih banyak masyarakat yang tidak bisa dibeli dengan harta benda.

Pernyataan tersebut kemudian menjadi pembuka gerakan demonstrasi mahasiswa menyambut Tanaka pada 14 Januari 1974. Hal ini kemudian diwujudkan dengan demonstrasi besar-besaran pada tanggal yang ditentukan, sebagai protes atas kedatangan Perdana Menteri Jepang di bandara Halim Perdanakusuma.

Klimaks: Demonstrasi Berubah Menjadi Kerusuhan

Meski demikian, demonstrasi tersebut gagal mencapai tujuannya, karena dijaga ketat oleh aparat keamanan. Rombongan mahasiswa tidak berhasil untuk menerobos masuk pangkalan udara. Pada 17 Januari 1974 pukul delapan pagi, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Demonstrasi yang awalnya berlangsung damai, berubah menjadi kerusuhan besar di Jakarta. Massa yang kecewa dan marah, mulai melakukan pembakaran, penjarahan, dan pengrusakan terhadap berbagai fasilitas umum dan properti milik pemerintah, perusahaan asing, dan warga sipil.

Kerusuhan ini tidak hanya melibatkan mahasiswa, tetapi juga masyarakat umum, yang ikut menumpahkan kemarahan dan frustrasi mereka terhadap kondisi sosial dan ekonomi yang tidak adil. Selain itu, ada juga pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab, yang memanfaatkan situasi untuk melakukan kejahatan dan provokasi.

Aparat keamanan yang berusaha mengendalikan situasi, juga melakukan tindakan represif dan kekerasan terhadap massa. Banyak korban jiwa dan luka-luka yang jatuh di kedua belah pihak. Kerusuhan ini berlangsung selama dua hari, hingga akhirnya dapat diredam oleh pemerintah.

Dampak: Reposisi Kekuasaan dan Pembatasan Kebebasan

Peristiwa Malari memiliki dampak yang besar bagi Indonesia, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial. Berikut adalah beberapa akibat dari peristiwa Malari:

  • Reposisi kekuasaan. Peristiwa Malari menjadi momentum bagi Presiden Soeharto untuk melakukan reposisi kekuasaan, dengan memberhentikan dan mengganti beberapa pejabat dan tokoh yang dianggap bertanggung jawab atau terlibat dalam peristiwa tersebut. Ini termasuk beberapa menteri, pejabat tinggi militer, dan pemimpin organisasi mahasiswa. Soeharto juga memperkuat posisinya sebagai presiden dan pemimpin tunggal Orde Baru.
  • Pembatasan kebebasan. Sebagai respons terhadap peristiwa Malari, pemerintah Orde Baru melakukan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat dan berkumpul. Banyak aktivis dan mahasiswa yang ditangkap dan dipenjara, dan beberapa organisasi mahasiswa dibubarkan. Pemerintah juga meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap media dan organisasi masyarakat.
  • Perubahan kebijakan ekonomi. Peristiwa Malari juga mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia. Pemerintah mulai melakukan revisi terhadap kebijakan investasi asing dan melakukan upaya untuk meningkatkan kontrol nasional terhadap ekonomi. Namun, perubahan ini tidak cukup untuk mengatasi ketidakpuasan dan ketidaksetaraan yang menjadi akar permasalahan.

Kesimpulan: Pelajaran dari Peristiwa Malari

Peristiwa Malari adalah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, yang menunjukkan betapa pentingnya keadilan sosial dan ekonomi, serta kebebasan berpendapat dan berkumpul. Meski peristiwa ini berakhir tragis, namun pelajarannya tetap relevan hingga hari ini.

Peristiwa Malari mengingatkan kita bahwa kebijakan pemerintah harus selalu memperhatikan kepentingan rakyat, dan bukan hanya kepentingan korporasi atau penguasa. Ini juga mengingatkan kita bahwa kebebasan berpendapat dan berkumpul adalah hak dasar yang harus dihormati dan dilindungi.

Meski peristiwa Malari telah lama berlalu, namun semangat dan pelajarannya tetap hidup dalam ingatan bangsa Indonesia. Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran berharga, untuk terus berjuang demi keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan bagi semua rakyat Indonesia.

Demikianlah artikel mengenai Peristiwa Malari 1974. Semoga artikel ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam dan jelas tentang peristiwa penting dalam sejarah Indonesia ini. Terima kasih telah membaca. Selamat mengenang Peristiwa Malari!

Share This Article