Indonesia dikenal sebagai negara beragama, yang mengakui enam agama resmi, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun, bagaimana nasib mereka yang tidak percaya pada Tuhan atau agama? Apakah mereka bisa hidup dengan bebas dan damai di tanah air mereka sendiri?
Ateisme adalah paham yang tidak percaya pada keberadaan Tuhan. Sementara itu, agnostisisme adalah pandangan yang menganggap bahwa keberadaan atau ketidakeberadaan Tuhan adalah tidak diketahui atau tidak dapat diketahui. Kedua paham ini bertentangan dengan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung pengertian bahwa manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Meskipun demikian, tidak ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang secara tegas dan eksplisit mengatur larangan untuk menganut ateisme atau agnostisisme. Konsekuensi hukum yang dihadapi oleh mereka yang berpaham ateis atau agnostis adalah mereka tidak bisa menikmati hak-hak yang biasanya dinikmati oleh mereka yang beragama tertentu di Indonesia.
Misalnya, mereka akan kesulitan untuk mengurus perkawinan, karena menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Selain itu, mereka juga akan kesulitan untuk mengurus dokumen kependudukan seperti KTP yang mengharuskan adanya keterangan agama atau kepercayaan.
Namun, yang lebih berbahaya adalah jika mereka menyebarkan paham mereka kepada orang lain. Hal ini berpotensi untuk diancam pidana, baik berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih berlaku saat ini, maupun berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), yang akan mulai berlaku pada tahun 2026.
Pasal 156a KUHP mengatur bahwa:
Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Sedangkan Pasal 302 KUHP Baru mengatur bahwa:
Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk tidak beragama atau berkepercayaan atau untuk beralih agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Berdasarkan Pasal 156a KUHP di atas, dapat dipahami bahwa seorang ateis dilarang untuk menyebarkan ateisme. Sementara itu, jika seseorang menyebarkan ateisme dengan cara menghasut atau menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa orang lain menjadi ateis, maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 302 KUHP Baru.
Lantas, bagaimana kehidupan sehari-hari mereka yang berpaham ateis atau agnostis di Indonesia? Apakah mereka mendapat perlakuan yang adil dan toleran dari masyarakat sekitar? Apakah mereka memiliki ruang untuk berbicara dan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kami mencoba menghubungi beberapa orang yang mengaku sebagai ateis atau agnostis di Indonesia, melalui media sosial dan forum online. Kami juga menggali pendapat dari beberapa ahli dan aktivis yang bergerak di bidang kebebasan beragama atau berkeyakinan, hak asasi manusia, dan hukum.
Berikut adalah hasil wawancara kami dengan beberapa orang yang berpaham ateis atau agnostis di Indonesia, yang kami samarkan namanya demi menjaga privasi dan keselamatan mereka.
Rian, 25 tahun, mahasiswa
Saya sebenarnya lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang beragama Islam. Namun, sejak SMP, saya mulai meragukan keberadaan Tuhan dan agama. Saya banyak membaca buku-buku filsafat, sains, dan sejarah, yang membuat saya semakin kritis dan skeptis terhadap doktrin-doktrin agama. Saya juga melihat banyak ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi yang dilakukan atas nama agama. Saya akhirnya menyimpulkan bahwa Tuhan dan agama adalah ciptaan manusia, yang tidak memiliki bukti empiris dan rasional.
Saya tidak pernah menyatakan secara terang-terangan bahwa saya ateis, karena saya tahu itu akan berbahaya bagi saya. Saya hanya berbagi pemikiran saya dengan teman-teman dekat yang saya percaya, atau dengan sesama ateis di internet. Saya juga masih mengikuti ritual-ritual agama, seperti shalat, puasa, dan berdzikir, demi menghormati orang tua saya yang masih taat beragama. Saya tidak ingin menyakiti perasaan mereka, atau membuat mereka khawatir akan nasib saya di akhirat.
Saya berharap suatu hari nanti, Indonesia bisa menjadi negara yang lebih terbuka dan toleran terhadap keberagaman pandangan, termasuk pandangan ateis. Saya berharap saya bisa hidup dengan jujur dan damai, tanpa harus berpura-pura atau takut ditindas karena pilihan saya. Saya berharap negara bisa melindungi hak-hak saya sebagai warga negara, tanpa membeda-bedakan saya berdasarkan agama atau kepercayaan.
Lia, 28 tahun, pegawai swasta
Saya berasal dari keluarga yang beragama Kristen Protestan. Saya juga pernah menjadi anggota gereja yang aktif dan rajin mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan. Namun, sejak kuliah, saya mulai merasa tidak nyaman dengan ajaran-ajaran gereja yang saya anggap terlalu kaku, dogmatis, dan patriarkal. Saya juga merasa tidak puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh para pendeta atau pemimpin gereja, yang saya rasa tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan pengalaman saya.
Saya mulai mencari tahu tentang agama-agama lain, dan juga tentang paham-paham non-agama, seperti humanisme, naturalisme, dan ateisme. Saya menemukan bahwa saya lebih setuju dengan pandangan-pandangan yang berbasis pada akal, sains, dan kemanusiaan, daripada pada wahyu, kitab suci, atau otoritas agama. Saya akhirnya menyadari bahwa saya adalah seorang agnostis, yang tidak yakin apakah Tuhan ada atau tidak, dan tidak peduli dengan hal itu.
Saya masih belum berani mengungkapkan paham saya kepada keluarga saya, karena saya khawatir mereka akan marah, kecewa, atau sedih. Saya masih menghadiri ibadah gereja sesekali, hanya untuk menjaga hubungan baik dengan mereka. Namun, saya sudah berhenti berdoa, membaca Alkitab, atau mengikuti dogma-dogma gereja. Saya juga sudah tidak lagi mengisi kolom agama di formulir-formulir resmi, atau mengenakan kalung salib yang biasa saya pakai. Saya berharap ada perubahan dalam sistem hukum dan politik di Indonesia, yang masih sangat didominasi oleh agama. Saya berharap ada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak orang-orang yang tidak beragama atau berkepercayaan, seperti hak untuk menikah, mendapatkan pendidikan, bekerja, dan berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.