Di era digital seperti sekarang, media sosial menjadi salah satu sarana komunikasi yang paling populer dan efektif. Melalui media sosial, kita bisa berbagi informasi, opini, dan ekspresi dengan mudah dan cepat.
Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga menyimpan potensi bahaya, terutama jika digunakan untuk menyebarkan kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Kebencian SARA di media sosial bukanlah hal yang baru. Sudah banyak kasus-kasus yang menunjukkan dampak negatif dari penyebaran kebencian SARA, seperti fitnah, ujaran kebencian, provokasi, hingga kerusuhan.
Oleh karena itu, pemerintah mengambil langkah tegas untuk menindak pelaku penyebaran kebencian SARA dengan mengandalkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024 adalah pasal yang mengatur tentang larangan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.
Pasal ini merupakan perubahan dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2008 yang hanya mengatur tentang larangan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat berdasar SARA.
Perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta untuk memberikan perlindungan lebih luas terhadap hak asasi manusia.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024 memiliki sanksi pidana yang cukup berat, yaitu pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Sanksi ini diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU ITE 2024. Pasal ini juga termasuk delik formil, yang berarti perbuatan tersebut sudah dianggap selesai tanpa harus menunggu adanya akibat yang ditimbulkan.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024 memiliki tujuan yang mulia, yaitu untuk mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif.
Pasal ini juga sejalan dengan Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, di sisi lain, pasal ini juga menimbulkan kontroversi, terutama terkait dengan batasan dan penafsiran dari istilah-istilah yang digunakan, seperti “menghasut”, “mengajak”, “memengaruhi”, “rasa kebencian”, dan “tanpa hak”.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa pasal ini bisa disalahgunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial.
Mereka berpendapat bahwa pasal ini terlalu multi tafsir dan bisa menjerat siapa saja yang memiliki pandangan berbeda dengan penguasa atau kelompok mayoritas. Mereka juga menyoroti bahwa penegakan hukum dari pasal ini masih belum konsisten dan transparan.
Salah satu contoh kasus yang menimbulkan polemik adalah kasus penangkapan Ratna Sarumpaet, aktivis dan politikus senior, yang diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024 karena menyebarkan informasi bohong tentang penganiayaan yang dialaminya.
Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan tokoh-tokoh politik dan menjadi isu kampanye menjelang pemilu presiden 2024.
Kasus lain yang juga mengundang perdebatan adalah kasus penangkapan Ahmad Dhani, musisi dan politikus, yang didakwa melanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024 karena mengunggah video yang berisi ujaran kebencian terhadap pendukung salah satu pasangan calon presiden.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang batas antara kebebasan berpendapat dan ujaran kebencian.
Dari beberapa kasus di atas, terlihat bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024 masih memerlukan penjelasan dan penegasan lebih lanjut agar tidak menimbulkan penyalahgunaan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal ini juga harus diterapkan dengan bijak dan proporsional, dengan mempertimbangkan konteks, niat, dan dampak dari informasi yang disebarkan.
Selain itu, masyarakat juga harus lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial, serta tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak jelas sumber dan kebenarannya. Dengan demikian, media sosial bisa menjadi sarana yang positif dan produktif, bukan sebaliknya.