Penggelapan dalam jabatan adalah salah satu bentuk kejahatan yang merugikan negara, perusahaan, atau lembaga. Tapi apakah penggelapan dalam jabatan termasuk perkara pidana atau perdata? Bagaimana hukumnya dan apa sanksinya? Simak ulasan berikut ini.
Penggelapan dalam jabatan adalah perbuatan seseorang yang menguasai barang atau uang yang diserahkan kepadanya karena jabatannya, lalu mengambil atau memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau orang lain tanpa hak. Contohnya, seorang bendahara yang mengambil uang kas perusahaan untuk membayar hutang pribadinya, atau seorang pejabat yang menggelapkan dana bantuan sosial untuk membeli mobil mewah.
Penggelapan dalam jabatan adalah perbuatan yang melanggar hukum, karena merugikan pihak yang menyerahkan barang atau uang tersebut. Namun, apakah penggelapan dalam jabatan termasuk perkara pidana atau perdata? Apa dasar hukumnya dan apa sanksi hukum bagi pelakunya?
Penggelapan dalam Jabatan sebagai Perkara Pidana
Pada dasarnya perbuatan penggelapan adalah perbuatan pidana sehingga termasuk dalam ranah hukum pidana. Pelaku penggelapan dalam jabatan diancam pidana penjara maksimal 5 tahun sesuai Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal ini mengatur penggelapan dengan pemberatan, yaitu penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan khusus dengan barang atau uang yang digelapkannya, seperti hubungan kerja, profesi, atau upah. Hal ini menunjukkan adanya kepercayaan yang lebih besar pada orang tersebut, sehingga seharusnya ia lebih memperhatikan keselamatan dan pengurusan barang atau uang itu, dan bukan menyalahgunakannya.
Selain itu, penggelapan dalam jabatan juga dapat dikenakan pasal-pasal lain yang lebih spesifik, tergantung pada jenis barang atau uang yang digelapkan, dan status pelaku sebagai pejabat umum atau bukan. Misalnya, Pasal 415 KUHP mengatur penggelapan oleh pejabat umum terhadap uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun.
Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal ini menegaskan bahwa penggelapan oleh pejabat umum adalah perbuatan yang lebih berat daripada penggelapan biasa, karena melibatkan penyalahgunaan wewenang dan kepercayaan publik. Pejabat umum di sini mencakup pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum, seperti kepala daerah, anggota DPR, hakim, jaksa, polisi, dan lain-lain.
Selain KUHP, penggelapan dalam jabatan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) UU ini mengatur beberapa ketentuan tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum, antara lain:
- Pasal 8: Penggelapan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, dengan ancaman pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun, dan pidana denda minimal Rp 150 juta dan maksimal Rp 750 juta.
- Pasal 10 huruf a: Penggelapan barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya, dengan ancaman pidana penjara minimal 2 tahun dan maksimal 7 tahun, dan pidana denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 350 juta.
UU Tipikor ini bertujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penggelapan dalam jabatan yang dilakukan oleh pejabat umum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, karena melanggar kewajiban dan tanggung jawab pejabat umum untuk mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan negara atau perekonomian negara secara transparan, akuntabel, dan profesional.
Penggelapan dalam Jabatan sebagai Perkara Perdata
Meskipun penggelapan dalam jabatan termasuk dalam ranah hukum pidana, namun tidak menutup kemungkinan bahwa penggelapan dalam jabatan juga dapat menimbulkan perkara perdata. Perkara perdata adalah perkara yang menyangkut hak dan kewajiban antara orang perorangan atau badan hukum, yang biasanya diselesaikan melalui gugatan atau permohonan di pengadilan.
Perkara perdata yang dapat timbul akibat penggelapan dalam jabatan adalah perkara ganti rugi. Ganti rugi adalah tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak lain. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang menyalahi kaidah hukum yang berlaku, yang menyebabkan kerugian bagi orang lain, dan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya.
Penggelapan dalam jabatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, karena menyalahi kaidah hukum pidana yang mengatur tentang penggelapan, dan menimbulkan kerugian bagi pihak yang menyerahkan barang atau uang yang digelapkan. Oleh karena itu, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pelaku penggelapan dalam jabatan, untuk menuntut pengembalian barang atau uang yang digelapkan, serta membayar kerugian lain yang diderita, seperti bunga, biaya, dan ganti untung.
Contoh perkara ganti rugi akibat penggelapan dalam jabatan adalah perkara antara PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. dengan mantan Direktur Utamanya, E.C.W. Neloe Dalam perkara ini, PT. Bank Mandiri menggugat E.C.W. Neloe untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 1,4 triliun, karena diduga melakukan penggelapan terhadap dana pinjaman yang diberikan kepada PT. Kiani Kertas dan PT. Kiani Lestari. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan tersebut, dan menghukum E.C.W. Neloe untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 1,4 triliun kepada PT. Bank Mandiri.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penggelapan dalam jabatan adalah perbuatan yang termasuk dalam ranah hukum pidana, dan dapat dikenakan sanksi pidana penjara dan pidana denda, sesuai dengan pasal-pasal yang mengaturnya. Namun, penggelapan dalam jabatan juga dapat menimbulkan perkara perdata, yaitu perkara ganti rugi, yang dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan kepada pelaku penggelapan dalam jabatan, untuk menuntut pengembalian barang atau uang.