Sebuah kasus penembakan terhadap seorang tersangka pencurian kendaraan bermotor oleh aparat kepolisian menimbulkan pertanyaan tentang prosedur penggunaan senjata api dan perlindungan hak asasi manusia.
Karawang – Deki Susanto (nama samaran) adalah seorang pria berusia 35 tahun yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) karena diduga melakukan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor. Pada suatu malam, ia sedang mengendarai sepeda motor di Jalan Internasional Karawang Barat, ketika ia dikejar oleh tiga mobil polisi yang membuntutinya.
Menurut keterangan polisi, Deki mencoba melarikan diri dan melakukan perlawanan dengan melemparkan batu dan benda tajam ke arah petugas. Polisi kemudian melakukan tembakan peringatan, namun Deki tidak menghiraukannya. Akhirnya, polisi menembak Deki di bagian dada dan perut, hingga ia tewas di tempat.
Kasus penembakan ini menimbulkan kontroversi dan kecaman dari berbagai pihak, terutama keluarga dan kuasa hukum Deki. Mereka menilai bahwa tindakan polisi telah melanggar hak asasi manusia (HAM) dan tidak sesuai dengan prosedur penggunaan senjata api. Mereka juga menuntut agar polisi yang bertanggung jawab diadili secara pidana.
Apakah benar penembakan terhadap DPO oleh polisi merupakan pelanggaran HAM? Bagaimana seharusnya polisi menggunakan senjata api dalam tindakan kepolisian? Dan bagaimana mekanisme penyelesaian hukum jika terjadi penyalahgunaan senjata api oleh polisi?
Penggunaan Senjata Api sebagai Upaya Terakhir
Senjata api adalah alat yang dapat menimbulkan luka atau kematian bagi orang yang menjadi sasarannya. Oleh karena itu, penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian harus dilakukan dengan hati-hati, proporsional, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Penggunaan senjata api dilakukan ketika tersangka melakukan tindakan agresif yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah, kematian, atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat, atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum.
Selain itu, penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia. Setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan kepolisian dengan menggunakan senjata api harus memedomani prosedur penggunaan senjata api sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 48 Perkapolri 8/2009, salah satunya adalah dilakukan dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di sekitarnya.
Lebih lanjut, penggunaan senjata api dilakukan berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Perkapolri 1/2009 dilakukan ketika:
- tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
- anggota Polri tidak memiliki alternatif yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
- anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
Sebelum dilakukan penembakan ke arah pelaku kejahatan atau tersangka, anggota Polri dapat melakukan tembakan peringatan. Setelah melakukan penindakan dengan senjata api, petugas wajib:
- mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api;
- memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak;
- memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api; dan
- membuat laporan terperinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.
Penembakan DPO, Pelanggaran HAM atau Tidak?
HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir yang tidak dapat dihilangkan oleh siapa pun. HAM dijamin dan dilindungi oleh undang-undang, konstitusi, dan instrumen internasional. Salah satu HAM yang paling mendasar adalah hak atas hidup, yang berarti setiap orang berhak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU HAM, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Berkaitan dengan kasus penembakan DPO oleh polisi, pertanyaannya adalah apakah tindakan tersebut telah sesuai dengan prosedur penggunaan senjata api, prinsip perlindungan HAM, asas proporsionalitas, asas nesesitas, dan asas legalitas sebagaimana disebutkan di atas. Jika tidak, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
Untuk menentukan hal tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan atau pendalaman, salah satu caranya adalah dengan meminta penjelasan kepada kepolisian atau pejabat yang berwenang. Pihak yang keberatan atau merasa dirugikan atas penembakan tersebut dapat menyampaikan keberatannya kepada pejabat yang berwenang untuk itu, agar ditindaklanjuti dan ditentukan apakah penembakan tersebut sesuai dengan prinsip perlindungan HAM atau tidak.
Apabila didapati atau terbukti tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM, maka anggota Polri yang bersangkutan dapat dikenai sanksi berupa penegakan disiplin, penegakan etika, dan/atau proses peradilan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesimpulan
Penembakan terhadap DPO oleh polisi merupakan sebuah kasus yang menimbulkan kontroversi dan kecaman dari berbagai pihak. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian harus dilakukan dengan hati-hati, proporsional, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penggunaan senjata api harus dilakukan sebagai upaya terakhir dan hanya bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
Penembakan terhadap DPO juga menyangkut isu perlindungan HAM, khususnya hak atas hidup, yang merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir. Apabila terjadi penyalahgunaan senjata api oleh polisi yang mengakibatkan kematian atau luka berat bagi DPO, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Untuk menentukan hal tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan atau pendalaman, dan apabila terbukti, maka anggota Polri yang bersangkutan harus diadili secara pidana.