Gelar guru besar atau profesor merupakan jenjang tertinggi dalam karier akademik seorang dosen. Namun, gelar tersebut tidaklah abadi. Ada beberapa alasan yang bisa membuat seorang profesor kehilangan gelarnya, baik karena pelanggaran disiplin, etika, maupun kinerja. Apa saja akibat hukum yang menimpa para profesor terjungkal ini?
Seorang dosen yang ingin menjadi profesor harus memenuhi syarat-syarat yang cukup ketat, mulai dari pendidikan, pengalaman, publikasi, hingga angka kredit. Selain itu, ia juga harus mendapat persetujuan dari senat universitas dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Setelah diterima, ia akan mendapat surat keputusan (SK) yang menyatakan kenaikan jabatan akademiknya menjadi guru besar.
Namun, SK tersebut bisa saja dicabut jika profesor tersebut melakukan pelanggaran yang berat. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PP Disiplin PNS), ada tiga jenis hukuman disiplin berat yang bisa dikenakan kepada seorang PNS, termasuk dosen PNS. Ketiga hukuman tersebut adalah:
- Penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan;
- Pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan; dan
- Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.
Hukuman disiplin berat ini bisa diberikan oleh pejabat yang berwenang, seperti presiden, pejabat pembina kepegawaian, pejabat pimpinan tinggi madya, atau pejabat pimpinan tinggi pratama. Dalam hal ini, Kemendikbudristek sebagai pejabat pembina kepegawaian instansi pusat berwenang menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi pejabat fungsional jenjang ahli utama di lingkungannya, yang dalam hal ini guru besar dengan golongan pembina utama madya (IV-D) atau pembina utama (IV-E).
Salah satu contoh kasus pencopotan gelar guru besar adalah yang menimpa dua guru besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada tahun 2023. Kedua guru besar tersebut dicabut gelarnya oleh Mendikbudristek karena terbukti melakukan pelanggaran disiplin berat berupa penyalahgunaan wewenang, penyelewengan, dan penyalahgunaan jabatan. Akibatnya, mereka diberhentikan dengan tidak hormat sebagai PNS dan diturunkan jabatan fungsionalnya menjadi lektor.
Pencopotan gelar guru besar tidak hanya berdampak pada status kepegawaian, tetapi juga pada reputasi akademik. Seorang profesor yang dicabut gelarnya akan kehilangan kredibilitas dan integritasnya sebagai ilmuwan. Ia juga akan sulit mendapat kesempatan untuk berkolaborasi, mendapat hibah, atau mengajar di perguruan tinggi lain. Selain itu, ia juga akan mendapat sanksi etik dari asosiasi profesinya, seperti Ikatan Ahli Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Untuk menghindari pencopotan gelar guru besar, seorang profesor harus menjaga kualitas dan kuantitas kinerjanya, serta menghindari segala bentuk pelanggaran yang bisa merusak citra dirinya dan institusinya. Sebagai puncak karier akademik, gelar guru besar bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari tanggung jawab yang lebih besar. Seorang profesor harus menjadi teladan, inspirator, dan inovator bagi generasi penerus bangsa.