Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) melaporkan rekor kerugian sebesar Rp1.778 triliun akibat kebijakan kenaikan suku bunga acuan sepanjang 2023.
Lonjakan beban bunga yang dihadapi The Fed di tengah upaya meredam inflasi AS mengakhiri rentetan profitabilitas yang kuat dari bank sentral tersebut.
Bagaimana kisah di balik rekor ini dan apa dampaknya bagi perekonomian global?
Kebijakan Agresif The Fed
The Fed adalah bank sentral AS yang bertugas mengatur kebijakan moneter, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan memberikan layanan perbankan kepada lembaga keuangan dan pemerintah.
Salah satu instrumen kebijakan moneter yang digunakan The Fed adalah suku bunga acuan atau federal funds rate, yaitu suku bunga yang dikenakan The Fed kepada bank-bank yang meminjam dana dari The Fed dalam jangka pendek.
Suku bunga acuan The Fed berpengaruh terhadap suku bunga lainnya di pasar keuangan, seperti suku bunga deposito, obligasi, hipotek, dan pinjaman konsumen. Suku bunga acuan juga mempengaruhi nilai tukar mata uang, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Secara umum, jika The Fed menaikkan suku bunga acuan, maka suku bunga lainnya akan ikut naik, nilai dolar AS akan menguat, inflasi akan menurun, dan pertumbuhan ekonomi akan melambat.
Sebaliknya, jika The Fed menurunkan suku bunga acuan, maka efeknya akan berkebalikan.
The Fed menetapkan suku bunga acuan melalui rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang diadakan delapan kali dalam setahun.
FOMC terdiri dari tujuh anggota Dewan Gubernur The Fed yang dipimpin oleh Ketua The Fed Jerome Powell, dan lima presiden bank regional The Fed yang bergiliran.
FOMC membuat keputusan berdasarkan data ekonomi, proyeksi inflasi, dan ekspektasi pasar.
Pada tahun 2023, The Fed mengambil kebijakan agresif dengan menaikkan suku bunga acuan sebanyak lima kali, yaitu pada Maret, Juni, September, November, dan Desember.
Pada awal tahun, suku bunga acuan The Fed berada pada kisaran 0%-0,25%, yang merupakan level terendah sejak krisis keuangan global 2008.
Pada akhir tahun, suku bunga acuan The Fed mencapai kisaran 5,25%-5,5%, yang merupakan level tertinggi sejak 2007.
Kebijakan kenaikan suku bunga acuan The Fed dilakukan dalam rangka merespons lonjakan inflasi AS yang mencapai level tertinggi dalam 40 tahun.
Menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja AS, inflasi tahunan AS pada November 2023 mencapai 6,8%, jauh di atas target The Fed yang sebesar 2%.
Inflasi AS dipicu oleh berbagai faktor, seperti stimulus fiskal yang besar, pemulihan permintaan konsumen, gangguan rantai pasokan global, kenaikan harga energi, dan kelangkaan tenaga kerja.
The Fed berharap dengan menaikkan suku bunga acuan, maka tekanan inflasi akan mereda dan kembali ke target dalam jangka menengah. Selain itu, The Fed juga mengurangi pembelian aset atau quantitative easing (QE) yang dilakukan sejak Maret 2020 untuk menstabilkan pasar keuangan di tengah pandemi Covid-19.
QE adalah kebijakan The Fed untuk membeli sekuritas, seperti obligasi pemerintah dan surat utang hipotek, dari pasar dengan tujuan menurunkan suku bunga jangka panjang dan meningkatkan likuiditas.
Pada November 2023, The Fed mengumumkan akan mengurangi pembelian asetnya dari US$120 miliar per bulan menjadi US$105 miliar per bulan, dan kemudian menjadi US$90 miliar per bulan pada Desember 2023.
Rekor Kerugian The Fed
Kebijakan kenaikan suku bunga acuan dan pengurangan pembelian aset The Fed ternyata membawa dampak negatif bagi kinerja keuangan bank sentral tersebut.
Pada 15 Januari 2024, The Fed melaporkan rekor kerugian sebesar US$114,3 miliar atau sekitar Rp1.778 triliun (kurs Rp15.555 per dolar AS) pada 2023. Padahal, The Fed meraup keuntungan pendapatan sebesar US$58,8 miliar atau Rp914,6 triliun pada 2022.
Kerugian The Fed terkait dengan lonjakan beban bunga yang dihadapi The Fed di tengah kebijakan kenaikan suku bunga.
The Fed membayar sejumlah lembaga keuangan sebesar US$281,1 miliar pada 2023, naik hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan US$102,4 miliar pada 2022. Pembayaran bunga ini merupakan bagian dari cara The Fed menerapkan kebijakan moneter dan mengendalikan suku bunga jangka pendek.
The Fed membayar bunga kepada bank, perusahaan keuangan, dan pengelola keuangan lainnya yang menaruh uang tunai di pembukuan The Fed.
Bunga yang dibayarkan The Fed mengikuti suku bunga acuan The Fed, sehingga semakin tinggi suku bunga acuan, semakin besar pula beban bunga yang harus ditanggung The Fed.
Sementara itu, bunga yang diterima The Fed dari obligasi yang dimilikinya menurun dari US$170 miliar pada 2022 menjadi US$163,8 miliar pada 2023. Penurunan ini disebabkan oleh penjualan dan pengurangan obligasi yang dilakukan The Fed dalam rangka mengakhiri QE.
Obligasi yang dimiliki The Fed merupakan aset yang menghasilkan bunga, sehingga semakin sedikit obligasi yang dimiliki The Fed, semakin kecil pula pendapatan bunga yang diperoleh The Fed.
Selain itu, The Fed juga mengeluarkan biaya operasional sebesar US$5,5 miliar pada 2023 untuk menjalankan 12 bank regional The Fed, yang merupakan lembaga kuasi swasta yang diawasi oleh Dewan Gubernur The Fed.
Biaya operasional ini mencakup gaji pegawai, biaya perjalanan, biaya sewa, dan biaya lainnya.
Dengan demikian, The Fed mengalami defisit antara pendapatan dan pengeluaran sebesar US$114,3 miliar pada 2023, yang merupakan rekor kerugian terbesar dalam sejarah The Fed.
Sebagai perbandingan, The Fed pernah mengalami kerugian sebesar US$53,1 miliar pada 2018, yang juga disebabkan oleh kenaikan suku bunga acuan dan pengurangan pembelian aset.
Dampak bagi Perekonomian Global
Kerugian The Fed tidak menghambat kemampuan The Fed dalam menjalankan kebijakan moneter, seperti yang telah ditekankan oleh para pejabat The Fed berulang kali.
The Fed mendanai dirinya sendiri melalui suku bunga yang diperoleh dari sekuritas yang dimilikinya dan melalui layanan yang diberikannya kepada bank.
The Fed juga tidak membutuhkan modal untuk menjalankan operasinya, karena The Fed dapat mencetak uang sesuai kebutuhan.
Biasanya, The Fed mendapatkan keuntungan dan memberikan kelebihan pendapatannya kepada Departemen Keuangan AS, seperti yang diwajibkan oleh hukum. Pada 2022, The Fed memberikan US$88,5 miliar kepada Departemen Keuangan AS.
Namun, ketika mengalami kerugian, The Fed mencatatnya sebagai aset tertunda yang menghitung kerugian tersebut, yang diperkirakan dapat ditutup seiring waktu sebelum mengembalikan keuntungannya ke Departemen Keuangan AS. Pada akhir 2023, aset yang ditangguhkan The Fed mencapai US$133.
Pada akhir 2023, aset yang ditangguhkan The Fed mencapai US$133,8 miliar, yang mencerminkan kerugian yang belum ditutupi. Aset yang ditangguhkan ini akan berkurang seiring waktu sejalan dengan penurunan beban bunga dan peningkatan pendapatan bunga The Fed.
Meskipun kerugian The Fed tidak berdampak langsung terhadap perekonomian AS, kerugian ini bisa mempengaruhi persepsi pasar terhadap kebijakan moneter The Fed.
Pasar keuangan global sangat peka terhadap kebijakan The Fed, karena The Fed adalah bank sentral paling berpengaruh di dunia.
Jika pasar meragukan kebijakan The Fed, maka bisa terjadi volatilitas pasar, penarikan modal, dan tekanan nilai tukar, yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi global.
Kerugian The Fed juga bisa mempengaruhi kebijakan fiskal AS, karena The Fed adalah sumber pendapatan bagi pemerintah AS.
Jika The Fed tidak bisa memberikan keuntungan kepada Departemen Keuangan AS, maka pemerintah AS harus mencari sumber pendapatan lain atau mengurangi belanja publik, yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat AS.
Rekor kerugian The Fed sebesar Rp1.778 triliun pada 2023 adalah bukti dari tantangan yang dihadapi The Fed dalam menjalankan kebijakan moneter di tengah inflasi yang tinggi dan pemulihan ekonomi yang belum stabil.
Meskipun kerugian ini tidak menghambat kemampuan The Fed dalam menjalankan kebijakan moneter, kerugian ini bisa mempengaruhi persepsi pasar dan kebijakan fiskal AS.
The Fed harus berhati-hati dalam menentukan kebijakan moneter, karena kebijakan ini tidak hanya berdampak pada perekonomian AS, tetapi juga perekonomian global.
The Fed juga harus transparan dan komunikatif dalam menyampaikan kebijakan dan prospek ekonominya kepada publik, agar pasar bisa merespons dengan tepat dan efisien.
Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat juga harus memahami bahwa kebijakan moneter bukanlah solusi tunggal untuk semua masalah ekonomi.
Kebijakan fiskal, struktural, dan sektoral juga perlu diterapkan secara sinergis dan berkelanjutan, agar perekonomian bisa tumbuh secara seimbang dan berkelanjutan.
Rekor kerugian The Fed adalah pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa dalam menghadapi tantangan ekonomi, kita harus berani mengambil risiko, tetapi juga harus siap menerima konsekuensinya.
Semoga kerugian ini menjadi momentum bagi The Fed dan perekonomian global untuk belajar, beradaptasi, dan berkembang menjadi lebih baik di masa depan.
Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang Anda butuhkan. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.