Taiwan, sebuah pulau kecil di lepas pantai China, menjadi salah satu isu paling sensitif dan berbahaya dalam hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Bagi China, Taiwan adalah provinsi yang harus kembali ke pangkuan ibu pertiwi, meskipun pulau itu memiliki pemerintahan sendiri yang demokratis. Bagi AS, Taiwan adalah sekutu strategis dan mitra dagang yang penting, yang harus dilindungi dari ancaman China.
Konflik antara China dan Taiwan berakar dari sejarah panjang yang rumit. Taiwan pernah menjadi bagian dari Kekaisaran China, kemudian jatuh ke tangan Jepang pada akhir abad 19. Setelah Perang Dunia II, Taiwan kembali ke China, yang saat itu diperintah oleh Partai Nasionalis (Kuomintang) pimpinan Chiang Kai-shek. Namun, pada tahun 1949, Partai Komunis China (PKC) pimpinan Mao Zedong berhasil mengalahkan Kuomintang dalam perang saudara, dan mendirikan Republik Rakyat China (RRC) di daratan. Chiang Kai-shek dan pengikutnya melarikan diri ke Taiwan, dan mendirikan Republik China (RC) di sana.
Sejak saat itu, kedua pihak mengklaim sebagai pemerintah yang sah atas seluruh China, dan tidak mengakui keberadaan pihak lain. China menganggap Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya, dan berhak menggunakan segala cara, termasuk kekerasan, untuk mencegah kemerdekaan Taiwan. Taiwan, di sisi lain, mengembangkan identitas nasionalnya sendiri, dan menuntut pengakuan internasional sebagai negara yang berdaulat.
AS, yang merupakan kekuatan militer dan ekonomi terbesar di dunia, memainkan peran kunci dalam menentukan nasib Taiwan. Pada tahun 1950, AS menempatkan armada angkatan lautnya di Selat Taiwan, untuk mencegah serangan China terhadap Taiwan, yang saat itu menjadi sekutu AS dalam Perang Korea. Pada tahun 1979, AS mengubah kebijakan luar negerinya, dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan, dan menjalin hubungan dengan China. Namun, AS tetap menjaga hubungan informal dengan Taiwan, dan memberikan bantuan militer dan ekonomi kepada pulau itu, berdasarkan Undang-Undang Hubungan Taiwan yang disahkan oleh Kongres AS.
Hubungan antara AS, China, dan Taiwan selalu penuh dengan ketegangan dan ketidakpastian. China sering menunjukkan kekuatan militernya, dengan mengirim pesawat dan kapal perang ke dekat Taiwan, atau menggelar latihan perang di sekitar pulau itu. Taiwan sering mengekspresikan keinginannya untuk mempertahankan demokrasi dan kedaulatannya, dengan mengadakan pemilu, referendum, atau demonstrasi. AS sering mengambil sikap ambivalen, dengan mengatakan bahwa mendukung status quo, yaitu tidak ada perubahan dalam status politik Taiwan, dan mengimbau kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah secara damai, tanpa mengintervensi secara langsung.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara AS, China, dan Taiwan semakin memanas, karena beberapa faktor. Pertama, China semakin percaya diri dan agresif, karena pertumbuhan ekonomi dan militer yang pesat, dan ambisi untuk menjadi pemimpin global. China tidak mau kompromi dengan Taiwan, dan menekan negara-negara lain untuk tidak berhubungan dengan Taiwan. China juga menolak dialog dengan pemerintahan Taiwan saat ini, yang dipimpin oleh Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokratik (PPD), yang dianggap sebagai pendukung kemerdekaan Taiwan.
Kedua, AS semakin khawatir dan bersaing dengan China, karena perbedaan ideologi, nilai, dan kepentingan. AS menganggap China sebagai ancaman terbesar bagi keamanan dan kepentingan nasionalnya, dan berusaha untuk mengekang pengaruh China di kawasan Asia-Pasifik dan dunia. AS juga mendukung Taiwan sebagai sekutu demokratis, dan meningkatkan kerjasama militer dan politik dengan Taiwan. AS juga mengkritik China atas pelanggaran hak asasi manusia, seperti di Xinjiang dan Hong Kong, dan menantang klaim China atas Laut China Selatan.
Ketiga, Taiwan semakin berani dan mandiri, karena perkembangan demokrasi dan identitas nasionalnya. Taiwan menolak untuk tunduk pada tekanan dan ancaman China, dan berusaha untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan bagi Taiwan. Taiwan juga berharap untuk mendapatkan dukungan internasional, terutama dari AS, untuk menghadapi China. Taiwan juga menunjukkan kemampuan dan kontribusinya dalam menangani isu-isu global, seperti pandemi Covid-19, perubahan iklim, dan keamanan siber.
Situasi ini menimbulkan risiko dan tantangan bagi ketiga pihak, dan juga bagi dunia. Jika China menyerang Taiwan, AS mungkin akan terlibat dalam konflik militer dengan China, yang bisa berujung pada perang dunia. Jika AS meningkatkan dukungan kepada Taiwan, China mungkin akan merasa terancam, dan meningkatkan tindakan balasan, yang bisa memicu krisis diplomatik. Jika Taiwan menyatakan kemerdekaan, China mungkin akan menganggapnya sebagai pemberontakan, dan mengambil tindakan keras, yang bisa menyebabkan krisis kemanusiaan.
Untuk menghindari eskalasi konflik, ketiga pihak perlu berdialog dan bernegosiasi secara konstruktif, dengan menghormati kepentingan dan kekhawatiran masing-masing. Ketiga pihak juga perlu menahan diri dari provokasi dan eskalasi, dengan mengedepankan prinsip damai dan stabilitas. Ketiga pihak juga perlu bekerja sama dalam menyelesaikan isu-isu global, dengan mengedepankan prinsip kerjasama dan multilateralisme.
Taiwan, pulau kecil yang mengguncang hubungan AS-China, adalah sebuah cermin bagi dunia. Cermin yang menunjukkan betapa pentingnya demokrasi, kedaulatan, dan hak asasi manusia. Cermin yang menunjukkan betapa rumitnya sejarah, politik, dan diplomasi. Cermin yang menunjukkan betapa rapuhnya perdamaian, stabilitas, dan kerjasama. Cermin yang menunjukkan betapa besar tanggung jawab kita untuk menjaga dan memperbaiki dunia.
Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang Anda butuhkan. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.