jlk – Yen Jepang (JPY) adalah salah satu mata uang yang paling banyak diperdagangkan di dunia, terutama karena peran Jepang sebagai pusat ekonomi dan keuangan global.
Nilai tukar yen terhadap dolar AS (USD) sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kebijakan moneter, kondisi perdagangan, dan situasi geopolitik.
Pada tahun 2022, yen Jepang mengalami penurunan besar-besaran terhadap dolar AS, mencapai level terendah sejak 2002 di bawah 141,00 pada awal Desember 2023. Penurunan ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain:
Perbedaan kebijakan moneter antara Bank of Japan (BOJ) dan Federal Reserve (Fed).
BOJ terus menerapkan kebijakan moneter yang sangat longgar, termasuk suku bunga negatif dan pembelian aset besar-besaran, untuk mendorong inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Fed menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali pada tahun 2023, mencerminkan kekuatan ekonomi AS dan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi.
Perbedaan ini meningkatkan selisih suku bunga antara kedua negara, yang membuat dolar AS lebih menarik daripada yen Jepang bagi para investor.
Pemulihan permintaan global setelah pandemi COVID-19.
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada tahun 2020-2021 berdampak negatif pada aktivitas ekonomi dan perdagangan global, yang menguntungkan yen Jepang sebagai mata uang safe haven.
Namun, seiring dengan kemajuan vaksinasi dan stimulus fiskal di berbagai negara, permintaan global mulai pulih pada tahun 2022, terutama dari Cina, mitra dagang utama Jepang.
Hal ini mendorong ekspor Jepang mencapai rekor tertinggi pada Januari 2024, sebesar 7,33 triliun yen, naik 11,9% dari tahun sebelumnya.
Ekspor Jepang juga mendapat manfaat dari yen yang melemah, yang membuat produk Jepang lebih kompetitif di pasar internasional.
Ketidakpastian geopolitik dan risiko.
Selain faktor-faktor ekonomi, nilai tukar yen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor geopolitik dan risiko, seperti ketegangan perdagangan, konflik regional, dan krisis politik.
Pada tahun 2022, beberapa peristiwa yang menimbulkan ketidakpastian dan risiko antara lain:
perang dagang antara AS dan Cina, krisis utang di Turki, ketegangan nuklir di Korea Utara, dan pergantian kepemimpinan di Jerman dan Jepang.
Ketika terjadi ketidakpastian dan risiko, para investor cenderung mencari aset yang lebih aman, seperti dolar AS, emas, atau obligasi pemerintah, daripada yen Jepang.
Namun, pada tahun 2024, yen Jepang diperkirakan akan menguat kembali terhadap dolar AS, karena beberapa faktor berikut:
Perubahan kebijakan moneter BOJ.
BOJ diharapkan akan keluar dari kebijakan suku bunga negatif pada tahun 2024, seiring dengan meningkatnya tekanan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Jepang.
Hal ini akan mengurangi selisih suku bunga dengan Fed, yang diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuan sebanyak tiga atau empat kali pada tahun 2024.
Sebagai respons terhadap perlambatan ekonomi AS dan dampak dari varian Omicron COVID-19.
Perubahan kebijakan moneter ini akan meningkatkan daya tarik yen Jepang bagi para investor, yang mengharapkan apresiasi mata uang.
Intervensi resmi untuk mencegah yen terlalu melemah.
Pemerintah Jepang dan BOJ mungkin akan melakukan intervensi di pasar valas untuk mencegah yen terlalu melemah terhadap dolar AS, yang dapat merugikan ekonomi Jepang dalam jangka panjang.
Yen yang terlalu melemah dapat meningkatkan biaya impor, menurunkan daya beli konsumen, dan memicu protes dari negara-negara saingan yang merasa dirugikan oleh keunggulan kompetitif Jepang.
Oleh karena itu, pemerintah Jepang dan BOJ mungkin akan menetapkan batas atas untuk nilai tukar yen.
Misalnya di sekitar 152 per dolar AS, yang merupakan level tertinggi sejak 2002, dan melakukan pembelian yen atau penjualan dolar AS.
Jika nilai tukar mendekati atau melebihi batas tersebut.
Faktor-faktor teknis dan psikologis. Faktor-faktor teknis dan psikologis juga dapat mempengaruhi nilai tukar yen.
Seperti pola grafik, indikator tren, sentimen pasar, dan ekspektasi pelaku pasar.
Pada tahun 2024, yen Jepang mungkin akan mendapat dukungan dari beberapa faktor teknis dan psikologis, seperti:
Pola double top. Pada grafik harian USD/JPY, terlihat pola double top yang terbentuk pada akhir Oktober dan awal November 2023, ketika pasangan ini mencapai level di bawah 152 dua kali, tetapi gagal menembusnya.
Pola ini menunjukkan penurunan minat beli dan kemungkinan pembalikan tren.
Jika pasangan ini menembus garis leher pola, yaitu di sekitar 149, maka target penurunan berikutnya adalah sekitar 146, yang merupakan selisih antara level tertinggi dan garis leher.
Indikator tren. Indikator tren, seperti moving average (MA), dapat digunakan untuk mengidentifikasi arah dan kekuatan tren.
Pada grafik harian USD/JPY, terlihat bahwa pasangan ini berada di bawah MA 50-hari dan MA 200-hari, yang menunjukkan tren turun.
Selain itu, MA 50-hari telah memotong MA 200-hari dari atas ke bawah pada akhir Januari 2024, yang dikenal sebagai death cross, yang merupakan sinyal bearish yang kuat.
Sentimen pasar. Sentimen pasar, yaitu sikap kolektif para pelaku pasar terhadap aset tertentu, dapat diukur dengan berbagai cara, seperti survei, opsi, atau posisi perdagangan.
Salah satu cara untuk mengukur sentimen pasar terhadap USD/JPY adalah dengan menggunakan data posisi net-long atau net-short para pedagang ritel yang disediakan oleh DailyFX.
Data ini menunjukkan bahwa pada 22 Februari 2024, 27,24% pedagang ritel bersikap net-long terhadap USD/JPY, sementara 72,76% bersikap net-short.
Karena DailyFX biasanya mengambil pandangan kontrarian terhadap sentimen pasar, fakta bahwa pedagang bersikap net-short menunjukkan bahwa harga USD/JPY mungkin akan terus naik.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, perkiraan median yang dikumpulkan oleh Bloomberg menunjukkan bahwa yen Jepang akan menguat menjadi 135 terhadap dolar AS pada akhir 2024.
Namun, nilai tukar ini tentu saja dapat berubah tergantung pada perkembangan ekonomi, politik, dan kesehatan di kedua negara, serta dinamika pasar global.
Oleh karena itu, para pelaku pasar harus tetap waspada dan fleksibel dalam menghadapi fluktuasi nilai tukar yen.