Suami tidak mau cerai, tapi istri sudah tidak tahan lagi. Istri menggugat cerai suami di pengadilan agama, tapi suami tidak pernah datang ke sidang. Apakah perceraian bisa terjadi? Bagaimana status perkawinan mereka? Apa hak dan kewajiban masing-masing pihak? Artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sidang Perceraian, Harus Hadir atau Bisa Diwakilkan?
Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri. Perceraian bisa terjadi karena permohonan salah satu pihak (gugatan) atau karena permohonan bersama (permohonan cerai talak). Dalam hal gugatan, penggugat adalah pihak yang mengajukan permohonan cerai, sedangkan tergugat adalah pihak yang digugat cerai.
Dalam proses persidangan perceraian, baik penggugat maupun tergugat harus hadir secara pribadi, kecuali ada alasan yang sah, misalnya sakit, bekerja di luar negeri, atau halangan lain yang dapat dibuktikan. Jika tidak bisa hadir, mereka bisa mewakilkan diri kepada kuasa hukum yang ditunjuk secara khusus.
Namun, ada pengecualian untuk sidang perdamaian, yaitu sidang pertama yang bertujuan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Dalam sidang ini, penggugat harus hadir secara pribadi, sedangkan tergugat bisa diwakili oleh kuasanya, kecuali jika penggugat dan tergugat sama-sama berdomisili di luar negeri.
Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, Pasal 19 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Pasal 142 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam.
Cerai Verstek, Apa Itu?
Jika tergugat tidak hadir dan tidak mewakilkan diri kepada kuasanya dalam sidang perceraian, meskipun sudah dipanggil dengan patut, maka hakim bisa menjatuhkan putusan verstek. Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan tanpa memeriksa bukti-bukti dari tergugat, hanya berdasarkan gugatan dan bukti-bukti dari penggugat.
Putusan verstek bisa digugat kembali oleh tergugat dengan cara mengajukan upaya hukum verzet (perlawanan) dalam waktu 14 hari sejak putusan diucapkan. Jika tergugat tidak mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi berkekuatan hukum tetap dan perceraian dianggap terjadi.
Hal ini diatur dalam Pasal 125 ayat (1) dan (2) Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Pasal 191 ayat (1) dan (2) Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) yang masih berlaku sebagai hukum acara perdata di Indonesia.
Status Perkawinan Setelah Putusan Verstek
Jika putusan verstek sudah berkekuatan hukum tetap, maka status perkawinan antara penggugat dan tergugat berakhir. Penggugat dan tergugat tidak lagi memiliki hak dan kewajiban sebagai suami istri, seperti nafkah, waris, atau harta bersama. Mereka juga bisa menikah lagi dengan orang lain setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Bagi yang beragama Islam, perceraian dianggap terjadi sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 146 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Bagi yang beragama selain Islam, perceraian dianggap terjadi sejak saat pendaftaran pada daftar pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat. Hal ini diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Akta Cerai, Bagaimana Cara Mendapatkannya?
Akta cerai adalah dokumen resmi yang membuktikan bahwa suatu perceraian telah terjadi. Akta cerai diterbitkan oleh pegawai pencatat perkawinan berdasarkan salinan putusan perceraian dari pengadilan. Akta cerai penting untuk dimiliki, karena bisa digunakan sebagai syarat untuk menikah lagi, mengurus administrasi kependudukan, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan status perkawinan.
Bagi yang beragama Islam, setelah putusan perceraian berkekuatan hukum tetap, panitera pengadilan agama akan mengirimkan salinan putusan perceraian kepada suami, istri, atau kuasanya, dan juga kepada Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Kemudian, suami, istri, atau kuasanya harus melaporkan perceraian tersebut ke KUA dengan membawa salinan putusan perceraian dan kutipan akta nikah. Setelah itu, KUA akan menerbitkan kutipan akta cerai.
Bagi yang beragama selain Islam, setelah putusan perceraian berkekuatan hukum tetap, panitera pengadilan negeri akan mengirimkan salinan putusan perceraian kepada suami, istri, atau kuasanya, dan juga kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) setempat. Kemudian, suami, istri, atau kuasanya harus melaporkan perceraian tersebut ke Disdukcapil dengan membawa salinan putusan perceraian dan kutipan akta nikah. Setelah itu, Disdukcapil akan menerbitkan kutipan akta cerai.
Hal ini diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, Pasal 19 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 143 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, dan Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
- Perceraian bisa terjadi meskipun suami tidak hadir dalam sidang perceraian, asalkan hakim menjatuhkan putusan verstek yang tidak digugat kembali oleh suami.
- Status perkawinan berakhir sejak putusan perceraian berkekuatan hukum tetap, baik bagi yang beragama Islam maupun yang beragama selain Islam.
- Akta cerai bisa didapatkan dengan melaporkan perceraian ke KUA atau Disdukcapil setempat, sesuai dengan agama masing-masing, dengan membawa salinan putusan perceraian dan kutipan akta nikah.